Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (2): Dimediasi Blater

Kamis 15-02-2024,15:51 WIB
Reporter : Guruh Dimas Nugraha
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY - Tradisi carok tak sembarang dilakukan. Bukan bertengkar atau menyerang dari belakang, bahkan tawuran. Kini, tradisi carok sudah tidak ada lagi atau sudah punah. Hanya istilahnya saja yang disalahartikan. Carok harus melalui berbagai tahapan. Apa saja?

Gerimis kecil jelang senja di halaman Rumah Batik Peri Kecil. Di antara rimbun tanaman dan sulur-sulur daun buah naga. Pendapa sederhana berdiri dengan artistik. Konstruksinya kayu, beratap genting. Teduh.

Di dalam pendapa itu, budayawan Madura Hidrochin Sabarudin tampak menyimpan kegelisahan. Beberapa saat pandangannya menerawang. Ia prihatin. Sebab, Bangkalan, kota asalnya tiba-tiba populer. Bukan tenar yang positif. Melainkan karena terjadinya kasus yang disebut carok. Tepatnya pada 12 Januari 2024.

BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (1): Benarkah Sudah Punah?

"Sekali lagi itu bukan carok. Tapi tokar, atau bertengkar. Carok tidak seperti itu. Ada banyak tahapan yang harus dilalui," ungkapnya. Namun, nilai-nilai masa lalu terkait carok masih tertanam dalam benak masyarakat. Termasuk di kepala Hasan Busri, pelaku "carok" tersebut.

Pertama, Hasan merasa harga dirinya dilanggar. Ia ditampar, diludahi oleh Mat Tanjar, yang akhirnya menjadi korban pertengkaran itu. "Dalam masyarakat Madura, ada peribahasa etembeng poteh mata, ango'an poteh tolang. Daripada malu, lebih baik berkalang tanah atau mati," ungkapnya.

Karena harga dirinya dicederai, Hasan memutuskan untuk mengambil celurit di rumah, untuk digunakan duel carok. Saat di rumah, Hasan terlebih dulu berpamitan dengan ibunya bahwa ia akan carok karena hatinya terluka. Begitu pula adiknya, Mawardi, yang diajaknya bercarok.

"Ibunya kan sempat melarang. Tapi Hasan bilang, kalau pipinya sakit. Habis ditampar. Itu bukan sakit karena fisik saja. Tapi lebih pada harga dirinya yang dilukai," ujar budayawan yang akrab disapa Abah Doink itu. Proses berpamitan dengan keluarga dan menyampaikan masalah itu merupakan nilai lama yang masih melekat.

Tetapi peristiwa itu tak bisa disebut carok. Karena dalam proses duelnya melibatkan banyak orang. Hasan mengajak Mawardi, adiknya, serta Mat Tanjar mengajak Mat Terdam, adiknya, dan beberapa kawannya yang lain. Bagi Abah Doink, sebutan yang tepat bukan carok. Melainkan tokar atau bertengkar.

"Bila dalam tradisi carok yang asli, ada dua belah pihak yang bertikai. Tak langsung saling serang. Tapi ada proses mediasi dulu sebelum berujung ke duel. Dalam proses itu, jika berhasil, carok bisa dihindari," ungkapnya.

Abah Doink kemudian mengangkat dua telunjuknya. "Katakanlah ini si A," ungkapnya, sembari menggoyangkan telunjuk tangan kanan. "Si A ini punya masalah dengan si B," lanjutnya, beralih ke telunjuk sebelah kiri. 

"Si A ini harga dirinya dilecehkan oleh Si B. Pihak A tentu tidak terima. Bisa saja mereka saling beradu argumen saat kejadian. Lalu ada tantangan carok dari salah satu pihak. Tapi carok tak bisa langsung dilakukan," terangnya. 

Usai munculnya masalah itu, kedua belah pihak pulang dahulu ke rumah masing-masing. Menyampaikan pada keluarga tentang peristiwa yang baru saja dihadapi.

"Setelah berbincang dengan keluarga, dan pihak A menyampaikan ingin carok, maka pihak A itu akan menemui ulama setempat. Atau bisa juga ketemu blater. Blater adalah sebutan untuk tokoh masyarakat. Biasanya ia ahli bela diri, atau orang yang punya kebijaksanaan tinggi," ujarnya.

Dari pertemuan itu, terjadi diskusi antara ulama atau blater dan orang itu. Tentu pihak ulama atau blater tak menghendaki adanya carok. "Lalu ditanyakan, jika Si B mau meminta maaf, apakah permasalahan bisa selesai dan damai? Kalau Si A setuju masalah selesai dengan maaf, tidak akan terjadi carok. Kalau tidak, potensi terjadinya semakin besar," ungkap pria asli Bangkalan itu.

Kategori :