Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (1): Benarkah Sudah Punah?

Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (1): Benarkah Sudah Punah?

Hidrochin Sabarudin, budayawan Madura, menjelaskan panjang-lebar tentang tradisi carok. Baginya, carok sudah tidak ada lagi di Madura. -Julian Romadhon-HARIN DISWAY

HARIAN DISWAY - Masih hangat di telinga publik, kasus yang dianggap carok di Madura. Itu terjadi pada 12 Januari 2024. Peristiwa tersebut menewaskan empat orang. Padahal, carok yang asli tak seperti itu. Budayawan Hidrocin Sabarudin menjelaskan panjang-lebar.

Desa Bumi Anyar, Tanjung Bumi. Desa di sudut kecamatan Bangkalan, Madura itu seperti desa pada umumnya. Tenang, sunyi. Masyarakatnya menjalankan aktivitas sehari-hari dengan berdagang, beternak atau berkebun. Ada juga yang menjadi petani tambak dan nelayan.

Tapi pada 12 Januari 2024, suasana tenang itu pecah. Teriakan histeris. Bunyi benturan celurit berdenting. Memekakkan telinga. Mencekam, terlebih saat desing sabetan berakhir dengan bunyi, layaknya pisau jagal memotong daging.

Seketika desa itu dibicarakan dimana-mana. Video yang disebut carok itu viral. "Carok, carok. Empa' se mateh (Empat [orang] yang meninggal dunia, Red)," kata seseorang dalam video tersebut. Terlihat empat jenazah terbaring di lokasi kejadian. Yakni di halaman rumah seorang warga bernama Abdullah.

BACA JUGA: Di Madura dan Bojonegoro, Ekspedisi Perubahan Tampung Keluhan soal Pendidikan hingga Praktik Ordal

Selain video yang memperlihatkan situasi usai carok, terdapat video saat kejadian berlangsung. Meski hanya beberapa detik, terlihat perkelahian antara beberapa orang dengan menggunakan senjata tajam berupa celurit. 

Bahkan dalam perkelahian itu terdengar jelas bunyi benturan celurit. Peristiwa itu menewaskan empat orang. Pelakunya, kakak-adik: Hasan Busri dan Mawardi. Sedangkan mereka yang tewas: Mat Tanjar, Mat Tardam, Najehri, dan Hafid. 

Pelakunya konon menyerahkan diri pada pihak berwajib. Pasca kejadian itu, terjadi blow up istilah carok. Baik masyarakat, media massa, bahkan dari pelakunya langsung. Ketika diwawancarai oleh media, keduanya menyebut istilah carok.

Banyak yang tak setuju terhadap istilah itu. Salah seorang yang tak sependapat adalah Hidrochin Sabarudin, budayawan asal Madura. Harian Disway menemuinya di Rumah Batik Peri Kecil, di Raya Tunjung, Kecamatan Burneh, Bangkalan, Madura.

Pria yang akrab disapa Abah Doink tersebut terlihat menunduk. Kemudian beberapa kali mengusap wajahnya. Perawakan kebanyakan orang Madura terlihat kekar, tegap, serta memiliki raut wajah yang tegas dan mata yang tajam.

Tapi tidak pada Abah Doink. Raut wajah dan matanya teduh. Cara bicaranya pun lembut. Kumis dan jenggot putih yang tipis, kulitnya bersih, dan yang selalu lekat: peci. Berhias motif khas Madura dengan detail ornamentik warna-warni. 

Ia mengenakan kaus hitam dengan lambang delapan sinar yang memancar. Seperti surya Majapahit. Dengan lingkaran di bagian tengah, berwarna merah, berlogo cakra. Di tepi logo itu terdapat lingkaran warna putih. Bertuliskan: Laskar Tjakraningrat.

Abah Doink memegang dagunya. Menghela napas sejenak. Lalu mulai berbicara, "Tidak. Carok tidak seperti itu. Peristiwa Tanjung Bumi bukan carok. Itu perkelahian. Tawuran," katanya. Baginya, carok bukan budaya. Sebab, apa yang disebut budaya pasti memiliki nilai manfaat. Carok adalah tradisi yang sejak lama telah mengalami pergeseran.

Kini, orang terbiasa menyebut perkelahian dengan celurit adalah carok. Tawuran menggunakan celurit pun disebut carok. Padahal tradisi carok di Madura sudah punah. Sejak puluhan tahun lalu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: