Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (1): Benarkah Sudah Punah?

Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (1): Benarkah Sudah Punah?

Hidrochin Sabarudin, budayawan Madura, menjelaskan panjang-lebar tentang tradisi carok. Baginya, carok sudah tidak ada lagi di Madura. -Julian Romadhon-HARIN DISWAY

Pun, tradisi carok memiliki beragam tahapan yang rumit. Prosesnya memang berpuncak pada pertarungan satu lawan satu. Namun, sebelum mencapai duel, tahapannya melibatkan banyak orang. Termasuk keluarga, ulama, blater atau tokoh masyarakat. 

"Tidak bisa serta-merta membacok orang disebut carok. Bukan pula berkelahi dengan celurit secara serampangan disebut carok. Itu tidak betul dan itulah pergeseran nilai yang terjadi saat ini," ujar pria 64 tahun itu. 

Pergeseran nilai atau kekeliruan itu bersemi selama bertahun-tahun. Kesalahan yang diproduksi terus-menerus akan jadi pembenaran. Dalam hal ini kekeliruan istilah carok, yang ikut dipopulerkan oleh media, yang akhirnya menjadi istilah umum di kalangan masyarakat Madura. Sehingga pertengkaran apa pun yang melibatkan celurit dianggap carok.

"Kaidah carok sudah melenceng jauh. Sangat jauh. Tapi, endapan nilai-nilai itu masih ada dalam alam pikiran masyarakat Madura. Alam pikirnya ada tapi praktiknya keliru," terangnya. Dalam alam pikiran masyarakat Madura, mereka akan bereaksi keras jika menyangkut harga diri.

Jika harga diri dicederai, orang Madura bisa sangat marah. Bahkan bisa terjadi pertumpahan darah. Seperti dialami Hasan, pelaku carok. Ia merasa tak terima karena ditampar dan diludahi oleh Mat Tanjar dan Mat Terdam. Di depan orang banyak pula. Harga dirinya merasa dijatuhkan.

"Hasan pun takerjet bengal. Artinya, karena terkejut, kaget, karena ada orang yang melecehkan harga dirinya, dan ia menjadi berani. Kalau sudah begitu, seseorang bisa gelap mata," ujarnya. Tradisi carok pun kerap terjadi karena persoalan harga diri. 

Setelah merasa dilecehkan, Hasan meminta kepada Mat Tanjar dan adiknya untuk menunggu di lokasi. Ia akan pulang ke rumah, mengambil celurit. Mat Tanjar menyanggupi. Ia menunggu sampai Hasan tiba. Untuk berduel carok.

Momen itu pun merupakan endapan nilai tradisi carok di Madura. Dua orang yang bertikai akan menyepakati tempat untuk berduel. "Namun, prosesnya tak secepat itu. Ketemu, pulang, ambil celurit, lalu duel. Keliru. Kalau carok yang asli akan ada banyak tahapan yang harus dilalui," ungkap pria asli Bangkalan itu.

Berpamitan dengan orang tua dan keluarga sebelum berduel seperti dilakukan Hasan, juga bagian dari nilai masa lalu. Tapi, dalam konteks peristiwa itu terjadi pergeseran. Tidak serta-merta berpamitan, lalu berduel. Apalagi mengajak adiknya dan berakhir dengan tawuran. (Guruh Dimas Nugraha)

BACA SELANJUTNYA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (2): Dimediasi Blater

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: