Pertama, membangun ekosistem ekspor. Di dalam ekosistem ekspor itu mempertemukan agregator dan pelaku UMKM ekspor yang didukung lembaga pembiayaan ekspor, termasuk business matching antara agregator dan UMKM.
Kedua, menyediakan capacity building yang terkait pengembangan kapasitas dan kemampuan ekspor UMKM. Itu disertai dengan pendampingan dan memfasilitasi pendampingan standardisasi produk ekspor UMKM seperti sertifikasi baku mutu, sertifikasi eco-labelling, ISO, product branding, hingga pembentukan rumah produksi bersama.
Ketiga, memfasilitasi buyer mapping dan market intelligence untuk produk natural ingredients.
Keempat, kolaborasi perluasan pasar dengan memanfaatkan jaringan diaspora Indonesia yang menjadi agregator.
Kelima, memperluas pasar dengan cara membangun platform di e-commerce seperti Amazon, Shopee, Lazada, serta aplikasi di TikTok, Instagram, dan sejenisnya.
Keenam, digitalisasi katalog produk ekspor andalan UMKM.
Memasuki 2024, pemerintah menargetkan 21,6 persen dari barang yang diekspor nasional merupakan produk hasil dari UMKM. Dari segi orisinalitas, UMKM memiliki inovasi dan daya saing yang tidak kalah bila dibandingkan dengan produk asing.
Sayang, saat ini baru 14 persen dari total ekspor Indonesia yang merupakan porsi ekspor produk UMKM. Pelan tapi pasti, untuk potensi besar UMKM yang terendus belum tergarap sepenuhnya, pemerintah menaruh ekspektasi tinggi di pundak sektor itu.
Pun, sangat dinantikan kelak menjelma sebagai second economic growth engine setelah sektor migas. Kenapa takut? (*)
*) Sukarijanto adalah direktur di Institute of Global Research for Enterpreneurship Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.