HARIAN DISWAY - Taman-taman dekat kampus atau mal-mal perbelanjaan kian ramai. Publik tampak menjemput saat berbuka dengan berjalan bersama keluarga di areal kuliner yang semakin berjibun.
Bahkan pojok-pojok kota dan tepian-tepian pantai semarak oleh warga yang bergerombol dengan menggandeng cucu-cicitnya. Ini fakta yang amat menyenangkan.
Di sisi lain, selepas waktu salat asar, masjid, langgar, surau di Surabaya meriah oleh sahut-sahutan anak-anak mengaji. Waktu menjelang saat berbuka benar-benar penuh sensasi sosial. Kian meriah dengan ragam jajanan yang dijajakan di pasar takjil dadakan.
BACA JUGA: Khasanah Ramadan (7): Di Balik Kelambu
BERCENGEKERAMA: Satu hal yang khas di bulan Ramadan adalah tradisi ngabuburit. Dalam bahasa Sunda artinya ngalantung ngadagoan burit yaitu bersantai menjelang sore hari saat menunggu masa berbuka tiba. --
Itulah momentum orang menyebutnya dengan bahasa Sunda ngabuburit. Menurut keluarga besar istri saya yang USA alias urang Sunda asli memberikan penjelasan maknanya. Ngabuburit itu ngalantung ngadagoan burit yaitu bersantai menjelang sore hari saat menunggu masa berbuka tiba.
Ini sejalan dengan narasi akademik Ketua Lembaga Budaya Sunda (LBS) Universitas Pasundan Hawe Setiawan yang berujar bahwa ngabuburit berasal dari kata dasar burit yang berarti sore atau petang.
Suatu hari saya menyaksikan betapa warga Surabaya maupun Gresik, Sidoarjo, dan Lamongan menikmatinya bersama anak-anak mereka. Ini bagi saya tentu bermakna. Bukankah ada ungkapan Robbana maa kholaqta haadzaa baathilaa, subhaanaka fa qinaa ‘adzaaban-naar.
Penggalan Q.S. Ali-Imran ayat 191 ini sudah sangat dihafal. Apalagi di kala bertadarus Ramadan ini. Ngaji nderes Kitab saking Gusti merupakan lelaku kerinduan oleh mereka yang mengimani kitab suci-Nya. Bukan yang sekadar memajang dalam rak-rak yang tidak terjamah.
Ayat itu memberikan peneguhan Allah SWT, Rabb semesta. “Tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”. Sebuah doa sekaligus penegasan betapa komunikasi teologis kepada Allah SWT dapat berlangsung sangat egaliter.
Permohonan yang menunjukkan keakraban antara manusia dengan Tuhannya ini dirumuskan oleh Allah SWT sendiri dengan kosa kata ”Engkau”. Kalian sewaktu ngomong dengan para pejabat atau orang yang dihormati, normalnya tidak akan ”mengengkau-engkaukan dirinya”.
Akan dipilih terminologi yang merefleksikan kesantunan sosial untuk ”mempanjeneng-panjenengkan dirinya” atau ”membapak-bapakkan, mengibu-ibukan” karena tidak tega ”mengengkau-engkaukan”.
BACA JUGA: Khasanah Ramadan (6): Parsel, Hadiah atau Sedekah?
Tetapi Allah SWT memberikan panduan tauhid melalui Al-Qur’an dengan “keramahan spesial, tanpa sekat, sangat dekat” sehingga seorang hamba diperkenankan menyebutnya dengan “Engkaulah Ya Rabb”, yang pastinya menciptakan ini semua tiada kesia-siaan. Termasuk fenomena ngabuburit.
Kita dapat belajar dari apa pun. Termasuk dari selembar daun kering yang jatuh dan memenuhi halaman rumah. Peristiwa ini mengabarkan adanya gravitasi bumi sampai pada kelembutan angin serta keberadaan pepohonan.