Khasanah Ramadan (7): Di Balik Kelambu

Khasanah Ramadan (7): Di Balik Kelambu

DI BALIK KELAMBU: Selama bulan puasa, aktivitas Warkop Bening di Jalan Ngagel Jaya Selatan Surabaya tetap berjalan dengan cara menutup warungnya dengan kelambu berwarna hijau. -Teddy Insani-HARIAN DISWAY

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Restoran, warung dan bedak-bedak makanan diserukan tutup siang hari. Rumah hiburan umum pun di malam hari wajib dikunci rapat-rapat. Kios-kios PK5 pada umumnya menyesuaikan diri untuk menggelar dagangannya. Ada yang buka mulai pukul 14.00-19.00 WIB. Berjajar-jajar sambung menyambung menjadi gelombang jualan pinggir jalanan.

Coba amati di gang-gang depan kawasan permukiman. Yang biasa sepi mendadak sontak ramai pembeli: anak-anak, muda-mudi, emak-emak dan bapak-bapak. Semuanya turut bertransaksi menjelang saat berbuka datang. Pembelinya bebas merdeka. Motor dan mobil langsung mandeg jegrek di depan lapak aneka takjil yang menggoda. 

Pada pagi hari, warung-warung itu ditutup rapat oleh kelambu. Modelnya selang-seling di antara deretan rombong di kawasan kuliner harian. Demikianlah kelaziman di bulan Ramadan.

BACA JUGA: Khasanah Ramadan (6): Parsel, Hadiah atau Sedekah?


MENGHORMATI RAMADAN: Ramadan memang bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi tetapi hanya menjaga kesantunannya. Seperti yang dilakukan Bakso Prasmanan di Jalan Dharmahusada dengan mengubah jam buka warungnya untuk menyesuaikan kondisi puasa. -Teddy Insani-HARIAN DISWAY 

Tapi di balik itu tertuang fakta yang menyunggingkan senyuman. Saya menyaksikan. Indah, polos, nan mempesona meski dengan sungging yang menggelengkan kepala. Lihat saja. Saya kerap menemukan ada warung yang tidak terlihat orangnya tetapi ada barisan kaki yang tampak rapi. Kaki-kaki itu seperti menyuarakan betapa uniknya, karena kaki-kaki itu berjajar di balik keber-kelambu-kain penutup warung-warung makanan. 

Kaki siapakah itu? Itulah kaki konsumen warung yang menyiratkan sebuah konsepsi tahu diri sesuai kaidah di fiqih puasa. Itulah selisik yang tersiratkan atas kenyataan di gang-gang sempit Kota Surabaya atau di luar sana yang memiliki warung-warung kampung dan kafe-kafe kecil para pedagang kaki lima. Restoran besar bisa saja cukup menulis password: buka-open. Inilah tanda-tanda jenius yang menggambarkan kearifan berjualan di belantara Ramadan.

BACA JUGA: Sulitnya UMKM Tembus Pasar Ekspor: Salah Resep Dapur atau Salah Toko?

Saya menyaksikan betapa hari-hari ini dapat dengan mudah memotret keberadaan para konsumen “depot unyil” untuk sarapan pagi atau makan siang dengan lahapnya di kala “orang beriman” mengerjakan puasa Ramadan. Saya tidak memasuki wilayah untuk menyoal hukumnya dalam kosmologi Ramadan di  metropolitan yang sangat kompleks warganya. 

Tetapi saya hanya tergelitik dengan laku para penyantap hidangan pinggiran kota  yang ditutup kain-kain seadanya. Ada keteduhan dan sebuah tabiat untuk mendewasakan diri bagi penyaksinya.

Ramadan memang bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi tetapi hanya menjaga kesantunannya. Semula orang dengan bebas njeglak-mbadog alias makan sekehendaknya, bila perlu dengan memamerkan piringnya demi larisnya objek jualan. 


MARHABAN YA RAMADAN: Sejak hari pertama bulan puasa, Warung Kopi STK di Jalan Pandegiling sudah menutup warungnya yang tampak rapat dibalut kain hitam demi menghormati umat Islam agar lebih khusyuk menjalankan puasa Ramadan. -Teddy Insani-HARIAN DISWAY

Di bulan Ramadan ini, ada etika bagi pemilik lapak makanan untuk menutupi etalase menunya dengan kain yang tetap menyiratkan keadaan bahwa kami tidak tutup meski berkelambu. Kami buka dengan menyopankan diri melalui “sepotong kain”. Para pengandok (konsumen) tidak usah gelisah karena wajah dan ragamu tidak akan mampu dideteksi siapa pun. Biarlah sebatas betis kaki-kaki itu saja yang menatap ramainya lalu lalang aktivitas warga.

Ketahuilah bahwa pemilik kaki itu bukanlah tidak beriman. Puasa ini tidak mengharamkan mobilitas orang-barang dan jasa, sehingga yang makan tadi tetap kutafsir sebagai para musafir dan pekerja keras yang bertandang ke kota. Untuk itulah warung perlu buka, karena kaum penjelajah ke teritorial sebrang (alias sedang dalam perjalanan) tidak harus menjalankan puasa dengan tunai. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: