HARIAN DISWAY - Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) oleh pemberi kerja pada karyawannya sudah menjadi tradisi di tanah air. Bahkan menjadi kewajiban yang diatur undang-undang.
Selain untuk meningkatkan kesejahteraan, pemberian upah lebih ini juga untuk menunjang aktivitas masyarakat yang bakalan banyak menunaikan "hajat sosial" selama Ramadan hingga Idul Fitri.
Misalnya bersedekah, mengeluarkan zakat fitrah, memasak dan membeli baju untuk hari raya, bersilaturrahmi dan berbagi dengan kerabat dan keluarga yang dilakukan sampai satu bulan penuh setelah hari Idul Fitri di tahun tersebut.
BACA JUGA:Kapan THR ASN Cair di Lebaran 2024? Ini Ketentuan Tanggal dan Besarannya..
Dengan adanya tradisi pembagian THR, lebaran bukan hanya tentang menyambut kemenangan setelah menjalani ibadah puasa, tetapi juga tentang berbagi kebahagiaan dan keberkahan kepada sesama. Sebuah tradisi yang melampaui sekadar simbolik, namun juga menciptakan ikatan sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat.
BACA JUGA:Hore! Menaker Imbau Ojol Dapat THR dari Aplikator, Ini Masukan PDOI Jatim..
Asal-usul Tunjangan Hari Raya (THR)
Kisah awal tradisi membagikan THR membawa kita kembali ke era 1950-an, saat Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo memperkenalkannya pada tahun 1951. Soekiman dikenal sebagai sosok yang gigih dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Soekiman Wirosandjojo, Perdana Menteri Indonesia era Presiden Soekarno-wikipedia-
Kebijakan THR menjadi salah satu program unggulan Soekiman dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pamong pradja, atau yang kita kenal sekarang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di tengah stabilitas ekonomi, pemerintah memandang pentingnya memberikan penghargaan kepada para pegawai negeri atas dedikasi dan kontribusi mereka.
BACA JUGA:Tak Boleh Telat Berikan THR, Perusahaan Bakal Tanggung Denda 5 Persen Jika Melanggar
Nilai THR pada masa itu berkisar antara Rp 125 hingga Rp 200, yang jika disesuaikan dengan nilai kurs saat ini, setara dengan Rp 1,1 juta hingga Rp 1,75 juta. Namun, langkah tersebut menimbulkan tuntutan dari kaum buruh di sektor swasta yang menginginkan perlakuan serupa.
Tuntutan tersebut mendorong pemerintah untuk mengatur pemberian THR secara lebih komprehensif. Hal ini tercermin dalam berbagai peraturan, seperti Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 10/Men/1961 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977.
BACA JUGA:Inilah Aturan THR untuk Mitra Grab
Pada masa Orde Baru, langkah penting diambil dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan. Aturan ini menjadi titik penting dalam sejarah, karena untuk pertama kalinya, hak para pekerja untuk menerima THR diakui secara hukum.