Maka, city rebranding menjadi sebuah keharusan. Untuk memperkuat posisinya sebagai kota jasa dan perdagangan. Juga, guna menarik lagi orang luar datang ke Surabaya untuk berkunjung, belanja, berinvestasi, atau bahkan sekadar hang out.
BACA JUGA: Berkat ILMU Semeru Polda Jatim, Warga Bojonegoro Bisa Temukan Motor yang Hilang
Potensi itulah yang kemudian kami gali. Untuk tujuan tersebut, perlu menggandeng para pelaku. Bukan semata diserahkan kepada birokrasi. Ada beda mindset antara pelaku industri dan birokrasi. Sesuatu yang tak bisa digeser dengan gampang.
Karena itu, perlu ada badan atau lembaga yang bisa menyatukan kalangan industri, profesional, dan birokrasi. Di Surabaya dulu dibentuk STPB. Anggotanya berasal dari birokrasi, akademisi, dan praktisi industri pariwisata. Bahkan, pimpinan puncaknya dari industri. Bukan birokrasi.
Hasilnya? Bisa dilihat geliat pariwisata di Surabaya periode 2005–2010. Banyak sekali event tahunan yang menjadi daya tarik kota. Termasuk Surabaya Shopping Festival yang skema penyelenggaraannya ditiru Jakarta melalui Jakarta Great Sale.
BACA JUGA: Tujuh Tugu Silat di Bojonegoro Mulai Dibongkar
Paradigma dalam membangun city branding haruslah kolaborasi. Melibatkan banyak pihak. Tidak hanya bisa ditangani birokrasi. Yang biasanya kurang memiliki pola pikir marketing. Fungsi pemerintah hanyalah memimpin orkestrasi. Apa lagi, menginisiasi dan mempersiapkan dukungan regulasi.
Kagiatan city branding bukan sekadar membuat logo baru dan tagline. Tapi, sebuah rangkaian kegiatan, mulai menggali potensi kota, menciptakan brand, logo, dan produk yang akan dipasarkan. Produk itu bisa berupa destinasi alam, destinasi yang diciptakan, dan berbagai kegiatan.
Orientasi brand dan logo perlu fokus dan konsisten. Sesuai dengan potensi kota atau daerahnya. Di pintu masuk Kabupaten Bojonegoro terpampang tagline Pinarak Bojonegoro, Bojonegoro Produktif? Pinarak artinya silakan mampir. Nah, mampir untuk apa? Hal seperti itu perlu dipikirkan.
BACA JUGA: Bojonegoro dan Sidoarjo Terbaik di Bola Tangan
Ketika Surabaya menjadikan Sparkling Surabaya sebagai city branding, semua juga telah dipikirkan. Makna dari logo dan simbol-simbolnya. Juga, turunannya dalam berbagai kegiatan. Termasuk aplikasinya ke dalam bentuk dan saluran komunikasi publiknya.
Hasilnya bisa dilihat dari peningkatan kunjungan wisatawan setiap tahun, kenaikan pajak hotel-restoran-tontonan, omzet pusat-pusat perbelanjaan, dan kepedulian masyarakat terhadap kebersihan kotanya. Rebranding yang berhasil akan mengubah banyak hal.
Namun, semua itu bisa berjalan dengan baik jika ada komitmen dan konsistensi dari pimpinan puncaknya. Diperlukan pimpinan kabupaten dan kota yang memiliki imajinasi dalam mengembangkan potensi daerahnya melalui kegiatan marketing. Bukan hanya orientasi elektoral untuk kepentingan pemilu berikutnya.
BACA JUGA: Pelatihan Produk Halal, ISNU Jatim Sasar Bojonegoro
Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi mendorong para kepala daerah untuk lebih serius mem-branding kotanya. Untuk percepatan pembangunan daerah. Biar tidak hanya memusat kepada beberapa kota yang telah berkembang secara timpang. Yang pada umumnya terpusat di ibu kota.
Branding kota adalah jalan marketing untuk memajukan daerah. Seharusnya membangun city branding bisa menjadi kegiatan yang berkelanjutan. Tidak hanya berdasar selera kepala daerahnya. Tapi, berdasar pertimbangan rasional yang mengedepankan kepentingan publik dan daerahnya.