Pola pengelolaan sampah yang salah dapat menggelincirkan kota kita kehilangan karakter kotanya menuju nekropolitan (kota kematian bagi penghuninya).
Kelahiran Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) jelas telah menawarkan wawasan baru tentang sampah. Persepsi publik mengenai sampah telah didekonstruksi.
Substansi pengaturan dalam UUPS memberikan “warna baru” berupa “paradigma imanen” bahwa sampah bukanlah “barang najis” yang harus dibuang begitu saja karena tidak bermanfaat.
Dalam UUPS terdapat pencerahan dan peneguhan bahwa sampah merupakan sumber daya “yang bergizi sebagai sumber energi” yang harus dikelola. Maka nomenklatur undang-undang ini pun bukan Undang-undang Sampah, tetapi Undang-undang Pengelolaan Sampah.
Penamaan ini sesungguhnya menegaskan suatu pesan betapapun adanya sampah adalah suatu “zat kehidupan” yang harus dikelola dengan melibatkan hukum sebagai instrumentarium yuridisnya guna diubah dari prahara menjadi berkah.
UUPS pada akhirnya mengingatkan bahwa sampah memang tidak untuk dibuang bak barang “kotor tanpa makna”. Sampah adalah “bagian kehayatan” yang harus dikelolah dengan melibatkan “takaran keilmuan” yang dapat disuguhkan sebagai “hidangan ekonomik” yang layak diperhitungkan oleh semua stakeholders pemerintahan.
Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr (Cand.) Rosa Vivien Ratnawati SH M.SD ketika mewakili Indonesia berbicara dalam Global Methane Forum yang diinisiasi oleh US EPA di kantor PBB Jenewa. --Istimewa
Sampah adalah “menu berenergi” yang perlu dimasukkan dalam segmen management oleh “tangan-tangan terampil” sang manajer pemerintahan kabupaten/kota.
BACA JUGA: Khasanah Ramadan (15): Pemimpin Baru di Kala Ramadan
Dalam UUPS inipun dinisbatkan bahwa pengelolaan sampah senyatanya menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik (public services) yang melekat pada relasi antara pemerintah dan yang diperintah (governor and governed).
Dalam UUPS secara simplistik didefinisikan bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan yang meliputi “pengurangan” dan “penanganan sampah”. Pengurangan diwerdikan sebagai upaya yang meliputi kegiatan membatasi, mengguna ulang dan mendaur ulang sampah.
Adapun penanganan sampah adalah upaya yang meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah.
Dari definisi stipulatif-presisif (yuridis) ini dapat diketahui bahwa apa yang namanya TPA bukan lagi tempat pembuangan akhir melainkan tempat pemrosesan akhir.
Hal tersebut mutlak diketahui biar tidak mengakibatkan salah pandang bahwa TPA diperuntukkan membuang sampah. TPA itu “untuk menggodok” sampah biar bermanfaat bagi kepentingan kehidupan, bahkan menjadi sumber daya yang seyogianya memang dikelola secara profesional.
Di TPA didesain secara hukum dipenuhi aktivitas teknis-ekonomik untuk “memoles sampah” sebagai primadona bergizi bernilai uang yang mampu menopang kehidupan keluarga. Bahkan di TPA diyakini terdapat transaksi produksi yang berimplikasi finansial yang besar dari sampah.
Maka melihat sampah adalah berkah. Khusus untuk keluarga, sampah rumah tangga dapat menjadi pupuk tanaman rumahan bukan? (*)
Oleh: Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Unair dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim