Pameran Paseduluran oleh Paspetung; sebuah Persaudaraan Global dan Universal

Kamis 28-03-2024,00:25 WIB
Reporter : Anang Prasetyo
Editor : Heti Palestina Yunani

Entah karena apa. Sebuah persoalan yang seakan meruncing dan berhadapan. "Tapi ada suatu momentum yang pada akhirnya masing-masing belajar untuk seleh. Belajar untuk menaruh egonya untuk sebuah kebersamaan. Di situlah makna paseduluran yang dimaksud," kata pembina Komunitas Padang Njingglang atau Kompan.

Sebab, jika melihat perjalanan berkesenirupaan, sesungguhnya telah jauh kaki melangkah. Melepuh dan berdarah. Berurai air mata jatuh dan luruh. Ibarat bondo bahu pikir telah terkuras atas nama menghidupkan kesenian dan kebudayaan.

Maka biarlah nyanyian Kyai Kanjeng yang nyaring terdengar "ate golek opo ate golek opo log udreg-udregan". Artinya, mau cari apa kok harus bergumul dalam pertarungan.
Paseduluran diinisiasi Paseban Perupa Tulungagung (Paspetung). Komunitas seniman lukis yang berdomisili di Tulungagung. Bergerak di wilayah kesenirupaan di Tulungagung. -Anang Prasetyo-Paspetung

"Ada ungkapan yang dipakai Dokter Budi Yuniarto dalam Selasar Kata buku Forensik Pancasila cet I 2023 berbunyi "mbegegeg igeg ugeg hmel-hmel sak ndulit langgeng". Itulah yang saya saya pakai dalam pengantar pameran ini," kata penulis buku Menggambar dengan Memori Bahagia.

BACA JUGA: Kupas Kisah Sejoli Rama-Sinta, Sruntulisme Gelar Pameran Arsip Ramayana

Yang bermakna daripada (mbegegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan berkarya (mel-mel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng).

"Maka, meskipun Pak Moelyono Sang Guru Gambar Penyadaran mengingatkan bahwa arti progres (berkesenirupaan) sendiri adalah pengembangan yang terus menerus, dan mengembang, mungkin inilah jalan takdir sejarah yang harus ditempuh," tegasnya.

"Hebagaimana langkah ibadah berkesenian yang khusyuk dijalani dengan setulus hati oleh Mbah Widji Paminto Rahayu, hingga pada akhirnya menghadap Sang Khalik. Kami pun pada hakikatnya sedang berbaris rapi di jalan yang lurus dan kadang kerantuk kaki untuk suatu saat menghadap kepada-Nya jua," ujarnya.

"Semoga Tuhan Yang Maha Indah itu tetap menyatukan hati dan pikiran dalam kesadaran pergerakan dan 'beribadah' melalui wilayah kesenirupaan. Itulah ilmu yang sedang kami pelajari dari kehidupan yang fana dan singkat. Itulah persaudaraan global sekaligus universal," lanjut Anang. (Anang Prasetyo)

Kategori :