Baca juga karya Empu Tantular yang berjudul Sutasoma (1385) yang mengisahkan keagungan manusia penuh kebajikan yang bernama Sutasoma yang memimpin berbasis kehidupan desa. Atau deklarasi publik Nabi Muhammad SAW yang menata kehidupan politik dalam Piagam Madinah (622). Piagam Madinah menginformasikan bahwa membangun kehidupan rakyat selalu berdasarkan inti kehidupan yang dinamakan Kaum atau Banu.
Prapanca maupun Sutasoma menuangkan dalil kebajikan kehidupan “negara aman kalau desa aman”. Maka jangan ada tindakan melemahkan desa atau meremehkan desa, atau mengabaikan kepentingan desa. Apabila desa lemah negara akan mengalami pengeroposan total.
BACA JUGA:Khasanah Ramadan (23): Hari Esok Masjid
Terkait itu, ada literasi leluhur agar kita jangan main-main dengan desa. Sebab desa itu penyangga utama keberadaan negara. Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama, Mpu Prapanca tahun 1365 merumuskan: “Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana. Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara. Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka, Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus”.
Pada lingkup ini ada sabda Raja Hayam Wuruk yang inti ujarannya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009) adalah: “Negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan. Apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan. Apabila tidak ada tentara yang kuat pasti negara mudah diserang musuh. Untuk itulah peliharalah keduanya”.
Pesan ini sangat fenomenal dalam peradaban ekologis Nusantara yang dalam beragam literatur dan sumber tutur dari para leluhur terbukti bahwa membangun negara harus berpijak pada desa. Kami akhirnya termenung untuk tidak pernah berpaling dari desa.
BACA JUGA:Khasanah Ramadan (20): Mahasiswa Pemakmur Masjid
Selama ini harus disadarai bahwa desalah telah melaksanakan demokrasi dengan kearifan-kearifannya. Jauh sebelum adanya pikada, desa sudah mengenal pemilihan langsung kepala desanya. Mereka sudah mengenal kematangan menjalankan pemerintahnnya.
Intinya mereka memiliki daya kenyal berbirokrasi secara lokal. Di desa telah dibangun semacam balanced relationship between human civilization and the future dalam bahasa Al-Gore (1992). Masyarakat desa sudah menata sistemnya yang benar-benar reorganizes itself. Ya, mereka nyaris mengenal self organization yang khas.
Untuk itulah UUD 1945 dalam edisi perdana dulu itu menghormatinya sebagai zelfbesturendelanschappen dan volksgemeenschappen. Inilah desa yang mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
BACA JUGA:Khasanah Ramadan (22): Malam Kemuliaan
Begitu dulu Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 terbitan Proklamasi. Nah kini itu tidak ada. Dimodernisir katanya. Padahal maksudnya dijauhkan dengan cita dasar bernegara. Inilah bahaya yang tidak disadari siapa pun atas nama demokrasi.
Selamat mudik dan silaturahmi dengan kerabat di desa. (Suparto Wijoyo: Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim)