HARIAN DISWAY - DESA sedang menunjukkan kuasanya. Tempat muasal kehidupan orang-orang urban. Kota pun tengah menyadari dirinya sebagai persinggahan insan-insan rural yang membentuk mural kehayatannya.
Saya menyimak dengan hati yang terjaga dari para komunitas keluarga perkotaan yang merindukan kampung kelahiran. Menyimak penuh haru dengan melibatkan emosi yang tersaji.
Ada keluarga yang terisak karena bisa mudik meski hanya ke Jombang. Jarak yang amat dekat dari teritorial Surabaya. Tidak mudik disebabkan kondisi sedang sakit dan itu sampai diunggapkan di radio.
Untuk menghibur sang ibu ini, keluarganya dikabarkan siap menjenguk. Ini sekadar kisah tipis dari gelombang besar arus mudik yang gemerlap.
BACA JUGA:Khasanah Ramadan (27): Menuju Samudera Keluarga
Saya sendiri juga merentangkan segala daya untuk dapat sambang kampung di salah satu titik koordinat wilayah Lamongan. Bertemu sanak saudara, handai taulan, dan tentu saja ibunda yang menjadi pusaka kehidupan kami. Saya ajak anak dan istri untuk melangkah di pematang tambak-tambak sambil menikmati jernihnya air yang tidak beriak.
Desa menjadi tempat berkumpulnya orang-orang urban. Kembali ramai dengan membaurkan rindu sanak saudara yang lama tak bersua. Sungguh indahnya. --
Rasa tenang dan cuaca yang tampak cerah meski jelang surup untuk berbuka. Pengajian di masjid dan ruang-ruang kelas Pondok Pesantren Darul Hikmah yang diasuh KH Abdul Halim Affandi berlangsung riang. Maghrib akhirnya datang. Kami melingkar untuk menikmati masakan udang yang diambil dari tambak sebelah rumah.
Hari-hari ini desa-desa telah tampil menjadi primadona. Lihatlah pergerakan orang-orang yang mudik. Mereka rela berjubel di stasiun atau terminal-terminal angkutan antarkota. Yang membawa kendaraan pribadi juga menahan sabarnya karena jalanan kerap merambat.
BACA JUGA:Khasanah Ramadan (25): Puasa itu “THR”
Semuanya tertuju pada satu kosmologi yang tunggal: tanah tumpah darah. Tanah yang menjadi kenangan sepanjang hayat. Kebahagiaan tersungging dalam senyum yang mengembang. Kahadiran keluarga kota untuk membaurkan diri di rumah perdesaan amatlah keramat. Inilah kesejatian derap langkah manusia yang merindukan desa dan sedia kembali ke desa. Tapi hanya berjeda semata. Begitulah rata-rata.
Pahamilah bahwa desa adalah kenyataan yang di dalamnya bermuatan serta berkonteks wilayah maupun peradaban. Desa bagi NKRI adalah tulang kaki utama negara untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi badan yang berada pada tingkat Kabupaten.
Tangan birokrasi hadir mengordinasikan kinerjanya dalam bentuk provinsi untuk sampai pada leher di arena kementerian yang berpuncak di kepala bernama presiden. Untuk itulah presiden dalam ritme hukum normatif di Indonesia selalu berpredikat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Itu bukan panggilan atributif sembarangan. Tetapi suatu realitas yang berangkat dari ide dasar organisme keberadaan NKRI yang berkaki desa.
BACA JUGA:Khasanah Ramadan (24): Tauhid Sosial Mudik
Desa memiliki posisi yang sedemikian pentingnya seperti dituliskan dalam kitab-kita kuno sejenis Negarakretagama karya Empu Prapanca (1365) yang sejatinya mengenai keragaman kehidupan desa yang menunjuk pada judul aslinya Desawarnana.