SURABAYA, HARIAN DISWAY - Sebanyak 20 ribu buruh bakal menggelar aksi di Kantor Gubernur Jawa Timur dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) pada Rabu, 1 Mei 2024.
Mereka merupakan anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur yang tergabung dalam aliansi serikat buruh GASPER (Gerakan Serikat Pekerja) Jawa Timur dan GERAK (Gerakan Rakyat) Jawa Timur.
Ketua DPW FSPMI Provinsi Jawa Timur, Jazuli, menyatakan bahwa ada beberapa tuntutan yang akan disuarakan dalam aksi tersebut, terkait dengan ketenagakerjaan, jaminan sosial, kesehatan, dan pendidikan.
Salah satu tuntutan utama mereka adalah mencabut Undang-Undang (Omnibus Law) No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja.
"Penyebab utama dari upah buruh yang murah adalah adanya UU Omnibus Law beserta aturan turunannya," ujarnya pada Selasa, 30 April 2024.
Aturan turunan tersebut meliputi PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang telah diubah menjadi No. 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
BACA JUGA:Hari Buruh 1 Mei, 50 Ribu Orang Akan Gelar Aksi di Kawasan Istana Sabtu 27-04-2024,19:52 WIB
Menurutnya, selama tiga tahun terakhir, kenaikan upah minimum buruh di Jawa Timur lebih rendah dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Meski terjadi kenaikan upah secara nominal, namun kenaikan tersebut tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan buruh. Upah buruh malah tergerus oleh inflasi," tambahnya.
Selain itu, mereka juga menuntut pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik Outsourcing yang masih merajalela akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan di Jawa Timur.
Mereka mendesak pemerintah provinsi untuk memperkuat sistem pengawasan ketenagakerjaan berbasis digital.
"Sehingga buruh yang melaporkan adanya pelanggaran ketenagakerjaan dapat memantau sejauh mana penanganan oleh Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur," paparnya.
Tidak hanya itu, mereka juga menekankan perlunya pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau yang biasa disebut dengan sistem kerja kontrak.
Mereka yakin bahwa 99 persen PKWT di Jawa Timur melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.