Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dan Hak Rakyat atas Pendidikan

Kamis 02-05-2024,10:14 WIB
Oleh: Sarkawi B. Husain*

BEBERAPA ALTERNATIF

Seperti yang disampaikan orang bijak, aksara adalah jendela untuk melihat dunia. Oleh karena itu,  sangat ironis jika masih banyak warga negara yang buta aksara di tengah global yang sangat cepat. Lebih miris lagi, sebagian besar dari mereka adalah usia produktif (15–59 tahun). 

Negara tentu harus memaksimalkan upayanya agar seluruh warga negara menerima haknya untuk mengenyam pendidikan, tidak justru mengurusi hal-hal yang tidak substantif seperti baju seragam. 

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah, pertama, perguruan tinggi dan pemerintah daerah harus meningkatkan kerja sama untuk pengentasan buta aksara melalui, antara lain, program kuliah kerja nyata (KKN) yang ditindaklanjuti dengan desa binaan dan lain-lain.  

Kedua, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digagas menteri pendidikan sebaiknya sebagian fokus dengan sangat serius pada masalah itu. Dalam jangka waktu tertentu, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dapat kembali ke daerah masing-masing untuk memastikan agar tidak lagi masyarakat di daerahnya yang buta aksara. 

Ketiga, aparatur pemerintah daerah (terutama wilayah yang buta hurufnya masih tinggi) yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti kantor kecamatan, kelurahan, rukun warga, dan rukun tetangga harus mengambil peran yang lebih aktif. Institusi itulah yang tahu keadaan masyarakatnya sehingga dapat menentukan langkah penanganan yang tepat. 

Keempat, lembaga swadaya masyarakat yang dinamis dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat harus mengambil porsi yang besar dalam pemberantasan buta aksara tersebut. 

Selain empat alternatif upaya yang dapat dilakukan di atas, masih banyak alternatif lain yang dapat diusahakan. 

Pertanyaannya, mau dan mampukah pemerintah menyinergikan semua potensi yang dimiliki masyarakat dan pemerintah untuk melaksanakan upaya bersama dalam memberantas buta aksara. Jika itu dapat dilakukan, angka buta aksara dapat dikurangi dengan maksimal. 

Sebaliknya, jika sinergi itu tidak bisa dilakukan, angka buta aksara sekaligus human resources development kita akan makin terpuruk. 

Jika Ki Hadjar Dewantara mampu mencerdaskan anak bangsa di tengah tekanan penguasa kolonial, di tengah kebebasan, kemajuan teknologi, dan sumber daya yang memadai saat ini, seharusnya kita jauh lebih mampu membebaskan rakyat dari buta aksara sekaligus memberikan haknya atas pendidikan. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional dan selamat mencerdaskan bangsa. (*)

 

*) Sarkawi B. Husain adalah penulis buku Sejarah Sekolah Makassar, Di Tengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers, dan Pembentukan Elite Baru (Periode 1876-1942) serta dosen Departemen Sejarah, FIB, Universitas Airlangga

 

 

Kategori :