Setelah Indonesia memprokalamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memintanya menjadi menteri pengajaran (pendidikan). Pada 26 April 1959, tokoh yang luar biasa itu wafat di Yogyakarta dan di tahun yang sama dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno dan tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Slogannya yang berbunyi Tut Wuri Handayani juga menjadi slogan Kementerian Pendidikan. Namanya juga menjadi nama salah satu kapal perang Indonesia, KRI Ki Hadjar Dewantara. Potretnya pun diabadikan pada uang kertas pecahan Rp 20.000 emisi 1998.
BACA JUGA: Visiting Academic ke Arab Saudi: Inspirasi Pendidikan Gratis di Indonesia
BACA JUGA: Sekolah Negeri Wajib Terima Anak Berkebutuhan Khusus, Dewan Pendidikan Surabaya Beri Catatan Khusus
HAK ATAS PENDIDIKAN
Perjuangan yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya adalah perjuangan agar seluruh rakyat Indonesia memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah hak warga negara sekaligus merupakan kewajian negara untuk menyediakannya.
Hak tersebut telah diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR). Kovenan itu adalah perjanjian multilateral yang disahkan Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada 3 Januari 1976.
Dalam pasal 13 ICESCR dinyatakan, antara lain, negara pihak dalam kovenan itu mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: A) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang.
B) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.
C) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.
D) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka.
E) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki.
Pertanyaanya kemudian, sudahkah semua warga negara Indonesia menerima haknya untuk mengenyam pendidikan, minimal pendidikan dasar?
Bersadar data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, angka buta aksara di Indonesia pada usia 15–59 tahun masih sekitar 2.666.859 orang. Walaupun jumlah itu mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka tersebut menunjukkan bahwa masih banyak warga negara yang belum melek huruf.
Dari seluruh wilayah di Indonesia, Papua menempati angka buta huruf tertinggi (18,81 persen), disusul Nusa Tenggara Barat (11,03 persen), Sulawesi Selatan (6,69 persen), Jawa Timur (6,68 persen), Sulawesi Barat (6,18 persen), Kalimantan Barat (6,04 persen), Jawa Tengah (5,74 persen), Nusa Tenggara Timur (5,37 persen), Yogyakarta (4,85 persen), dan Bali (4,47 persen).