BACA JUGA: Pengusaha Cirebon Ekspor Cicak ke Tiongkok, Enggak Tahu Untuk Apa
Anita sebenarnya bukan PSK. Ia gadis cantik yang ceria. Itu dikatakan sahabat Anita, Anik Cahya Lutfiari, 18, yang tinggal di kampung yang sama dengan Anita, yakni Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Anita juga teman akrab kakak Anik, Muhammad Faigal, 20, yang juga indekos di Cirebon. Anik tahu Anita dibunuh setelah diberi tahu Faigal.
Anik kepada wartawan: ”Sore itu (Kamis, 9 Mei 2024) saya ditelepon kakak Faigal, disuruh segera ke Cirebon, menuju tempat kosan Anita. Katanya, gawat. Saya tanya, Anita kenapa? Tapi, kakak tak menjawab. Cuma mengatakan gawat.”
Sore itu juga Anik meluncur ke Cirebon, tempat kos Anita. Ternyata lokasi itu sudah dibentangi garis pita kuning polisi. Tempat kos itu tertutup. Warga berkerumun. Anik bertanya ke warga, baru tahu bahwa Anita dibunuh.
Anik: ”Sebenarnya, Anita sedang menunggu panggilan kerja sebagai TKI. Dia sudah mengurus semua persyaratan sebagai pekerja buruh migran (PMI). Dia belum tahu akan dikirim ke negara mana. Tapi, kantor pengurusnya di Cirebon. Maka, dia indekos di sana sambil menunggu panggilan kerja.”
Ditanya wartawan soal Anita open BO, Anik menjawab tidak tahu. ”Setahu saya, dia menunggu panggilan kerja ke luar negeri. Dia anak baik. Enggak mungkin open BO.”
Dari konstruksi kasus itu tampak bahwa pelaku dan korban sama-sama orang desa yang hidup sederhana. Anita sebagai pencari kerja tentu tak punya banyak duit, bahkan untuk membiayai makan dan tarif indekos di Cirebon pun pastinya berat. Sebaliknya, selain membunuh, tersangka juga nyolong HP yang belum sempat ia jual.
Pertanyaan inti, mengapa orang membunuh dengan motif begitu sepele?
Dikutip dari The Guardian, Minggu, 21 November 2021, berjudul Selling sex is highly dangerous. Treating it like a regular job only makes it worse karya Sonia Sodha, disebutkan, pelacur perempuan pasti dalam posisi sangat berbahaya. Pelacur bekerja bukan cuma mengorbankan perasaan yang selalu direndahkan pembeli, tapi juga setiap saat nyawanya terancam.
The Guardian: Bagaimana seorang pelacur perempuan bisa menjaga keamanan diri jika selalu berhadapan dalam jarak sangat dekat dengan konsumen laki-laki yang secara fisik bisa membunuh dan cenderung melakukan eksploitasi apa saja. Sebab, si konsumen merasa membayar.
Penulis cewek Sonia Sodha di The Guardian itu mengutip hasil riset Proyek Invisible Men di Inggris, yang mendokumentasikan cara laki-laki berbicara secara online tentang pengalaman mereka berhubungan seks dengan pelacur perempuan. Bahkan, cerita pengalaman mereka itu tidak layak tulis di media massa karena begitu menjijikkan dengan sudut pandang merendahkan martabat pelacur.
Hasil riset Proyek Invisible Men menyebutkan, laki-laki yang membeli seks dari pelacur juga cenderung melecehkan pelacurnya. Juga, mempunyai preferensi yang lebih kuat terhadap seks impersonal dan melakukan pemerkosaan serta pelanggaran seksual lainnya.
Meski Sonia berlebihan menggambarkan di situ, dengan menyebut pemerkosaan di pelacuran padahal itu adalah transaksi suka sama suka, tapi dari tulisan tersebut, tergambarkan bahwa laki-laki pembeli jasa pelacur cenderung berada di atas angin. Sebab, mereka membayar pelacurnya. Baik pembayaran di muka, seperti yang diminta korban Anita, maupun pembayaran setelah layanan seks.
Di situ Sonia menyitir upaya mantan anggota parlemen Inggris, Keith Vaz, yang pernah memimpin komite penyelidikan yang menentang kriminalisasi pelacur oleh konsumen. Itu karena begitu banyaknya kasus pembunuhan laki-laki konsumen pelacur terhadap pelacur yang mereka bayar untuk layanan seks.
Keith Vaz kelahiran Aden, Britania Raya, 26 November 1956, politikus dari Partai Buruh Inggris. Ia gencar membela hak kaum lemah yang dikriminalisasi, termasuk kriminalisasi terhadap pelacur.
Dikatakan, hampir semua pelacur ketika masih kecil tidak bercita-cita jadi pelacur. Mereka jadi pelacur akibat terjebak dalam kemiskinan atau problem hidup lainnya.