Berbeda dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) pada BPJS Ketenagakerjaan, yang menawarkan imbal hasil minimal setara dengan rata-rata suku bunga deposito di bank pemerintah dan sering kali melebihi rata-rata tersebut, Tapera tidak menjamin hal serupa.
BACA JUGA:Hadiri Rapat Paripurna DPR-RI ke-17, Sri Mulyani Sebut Perekonomian Indonesia Masih Tergolong Stabil
Oleh karena itu, Edy mengusulkan agar pemerintah lebih memaksimalkan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan pada JHT BPJS Ketenagakerjaan yang sudah ada daripada memberlakukan Tapera.
Menurutnya, hal ini dapat menghindari overlapping program dan beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha swasta, yang diwajibkan membayar iuran Tapera sebesar 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha.
Edy juga menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan rumah bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masyarakat miskin melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti yang ada pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dana untuk skema ini bisa diambil dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Yang terjadi di lapangan itu harga bahan pokok mahal, harga properti tidak dapat dijangkau. Masyarakat benar-benar dihimpit,” tutur Edy.
Penulis: Rifa Zahra Fadhila, Mahasiswa UPN "Veteran" Jawa Timur, peserta Magang MBKM di Harian Disway.