SURABAYA, HARIAN DISWAY - Anda tentu sudah hafal betul falsafah bangsa kita, "Bhinneka Tunggal Ika", yang diilhami dari kakawin Sutasoma mahakarya Mpu Tantular.
Masalahnya: bagaimana kita menerapkannya dalam bermasyarakat --agar bisa menjadi orang yang mau menerima perbedaan dan syukur-syukur kemudian mendorong kita mau menjadi bangsa yang bersatu di tengah keberagaman?
Yohanes 13:34 mungkin bisa dijadikan patokan. Disebutkan di sana, "Aku memberikan perintah baru kepada kalian: Kasihilah satu sama lain. Sama seperti Aku sudah mengasihi kalian, begitulah kalian harus saling mengasihi."
Itulah yang barangkali mengilhami dr. Fransiscus Iman Santoso, SpOG. "Salah satu pedoman hidup ya, karena saya dokter, saya coba kaitkan dengan kesehatan.
Yaitu, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang baik, terlepas dari apa pun status sosialnya," kata dokter spesialis kandungan tersebut.
"Jadi, sebagai seorang dokter, kita tidak boleh membedakan pelayanan kita berdasarkan status pasien. Baik itu status sosial, agama, ras, ataupun yang lainnya," lanjut pria dua anak yang kini membuka praktik di Kimia Farma Kendangsari, RS Husada Utama, dan RS Gotong Royong, Surabaya, ini.
Bukan perkara mudah untuk menjalankannya. Apalagi di zaman sekarang, yang persis dengan yang berabad silam dilukiskan ungkapan Tiongkok, "有钱道真语,无钱语不真" (yǒu qián dào zhēn yǔ, wú qián yǔ bù zhēn).
Artinya: Kalau punya uang, segala yang diomongkan akan dianggap sebagai kebenaran; kalau tidak punya uang, tak akan ada yang menggubris apa pun yang diomongkan.
Namun demikian, sebagai manusia yang sejak belia diajari untuk "tepo seliro", untuk bertenggang rasa, kita tetap mesti "一视同仁" (yī shì tóng rén): Memperlakukan sesama dengan sama. Sebab, kita semua adalah manusia.