HARIAN DISWAY - Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia segera menandatangani izin usaha pertambahan (IUP) untuk ormas keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).
Hal ini menyusul aturan yang baru saja diteken oleh Presiden Jokowi tentang izin pengelolaan tambang khususnya wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada untuk ormas keagamaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
BACA JUGA:Resmi! Jokowi Izinkan Ormas Keagamaan Kelola Pertambangan
Berdasarkan aturan baru itu, Bahlil Lahadalia menyatakan akan segera memberikan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bakal mendapatkan izin tambang batu bara dalam waktu dekat-PBNU-
Pemberian konsesi tambang batu bara itu kata Balil mengingat sampai saat ini cadangan batubara Indonesia masih sangat besar. Menurut data Indonesia Mining Association (IMA), sudah tembus 134,24 miliar ton.
“Tidak lama lagi saya akan teken IUP untuk dikasih ke PBNU,” ungkap Bahlil dalam Kuliah Umum Menteri Investasi di Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama, yang disiarkan melalui Youtube Kementerian Investasi/BKPM, dikutip Minggu, 2 Juni 2024.
Ia memastikan penyusunan IUP untuk PBNU sedang berproses dan hampir selesai. Dengan pemberian izin tambang ini, kata Bahlil, PBNU diharapkan dapat lebih berkembang secara keorganisasian.
BACA JUGA:Harvey Moeis Ditahan, Diduga Raup Keuntungan dari Pertambangan Liar
Di sisi lain, aturan anyar tersebut juga menimbulkan polemik. Sejumlah pakar melontarkan kritik. Salah satunya pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) dan Manager LEMTERA Institut Teknologi PLN Ali Ahmudi Achyak.
“Pemberian lisensi bagi organisasi keagamaan untuk mengelola tambang ini bisa menimbulkan masalah serius,” katanya saat dihubungi, kemarin. Sebab, organisasi keagamaan tidak memiliki kompetensi. Bahkan tidak berpengalaman dalam mengelola sektor pertambangan.
Sementara syarat memperoleh IUP/IUPK harus memiliki kemampuan mumpuni. Mulai penguasaan teknologi, SDM, keuangan, pengelolaan lingkungan hidup, masalah sosial. Ali pun menyarankan kebijakan tersebut ditinjau ulang supaya tak menimbulkan masalah yang serius di masa depan.
Menurutnya, sektor pertambangan di Indonesia sebetulnya sudah memiliki aturan yang jelas dan baku. Yakni tertuang dalam UU Mineral dan Batu Bara yang selama ini menjadi rujukan utama. Maka, pemberian IUP/IUPK kepada pihak yang kurang memiliki kompetensi dan pengalaman akan sangat berisiko tinggi.
Terutama berdampak pada keberlangsungan usaha pertambangan, gejolak sosial dan terganggunya target produksi, serta berpengaruh terhadap transisi energi. Dikhawatirkan mereka akan "menggandeng" atau "menjual" kepada lembaga lain perusahaan pertambangan. “Yang nanti berpotensi terjadinya penguasaan langsung dan tidak langsung oleh kelompok usaha tertentu yang seharusnya tidak boleh lagi terjadi," tutur Ali.(Mohamad Nur Khotib)