Sebelumnya, pada tahun 2002 Kementerian Kesehatan Thailand resmi menganggap homoseksualitas tak lagi termasuk dalam penyakit mental atau sebuah kelainan.
Tahun 2015, pemerintah Thailand mulai mengimplementasikan Undang-Undang Kesetaraan Gender sehingga diskriminasi terhadap gender akan dianggap ilegal.
Meski demikian, stereotipe negatif terhadap komunitas pelangi ini masih eksis di masyarakat.
Di tahun ini pula, pemerintah mengesahkan penambahan gender ketiga dalam konstitusi penyusunan UU.
Ternyata, di balik buah pengakuan gender itu, ada sebagian masyarakat yang mengupayakan pemenuhan hak serta perlindungan HAM bagi para transgender.
Usaha ini terlihat dari proyek Pride ILO, transnational advocacy networks, serta berbagai usaha lainnya. Dua organisasi besar yang memayungi kegiatan ini adalah USAID (U.S. Agency for International Development) dan UNDP (United Nations Development Programme).
Salah satu bentuk dukungan mereka ialah melalui program ‘Menjadi LGBT di Asia’ yang menghasilkan Dialog Komunitas LGBT Nasional Thailand pada 21-22 Maret 2013 lalu.
BACA JUGA:Makna dan Sejarah Bendera Pelangi LGBTQ+ yang Berkibar Sepanjang Juni
BACA JUGA:Coldplay dan LGBT
Pengesahan gender ketiga ini dapat dianggap sebagai instrumen hukum yang bisa dijadikan perlindungan bagi komunitas LGBT dari segala bentuk diskriminasi. Mereka juga diberikan akses pada proses hukum yang setara.
Jadi, dalam suatu proses hukum nantinya tak hanya mengurus permasalahan pria dan wanita, tapi juga membahas mereka yang berasal dari komunitas keragaman seksual.
Puncaknya adalah pelegalan RUU pernikahan sesama jenis oleh senat pada dua hari lalu.
Jika Raja Maha Vajiralongkorn memberikan dukungan pro forma-nya, maka Thailand akan menjadi negara di Asia Tenggara pertama yang mengakui pernikahan sesama jenis. (*)