Setelah TPPO Ferienjob Jerman terungkap ke publik pasca rilis penyidik Bareskrim Polri pada Maret 2024 lalu, kampus serentak cuci tangan menghindari tanggungjawab pidana dan mainkan peran victim seolah-olah ikut tertipu oleh jaringan pelaku.
Terdesak situasi, propaganda firehose of falsehood terus dimainkan pelaku dengan membuat survei online ke mahasiswa peserta magang sesat, mengklaim dominan mahasiswa senang dan puas dengan programnya dan mengamplifikasi hasil survei dan konten mahasiswa pro program melalui jejaring media sosialnya.
Mahasiswa, sebelum memutuskan ikut menjadi peserta magang sesat di Eropa, sesungguhnya memiliki kapasitas untuk melakukan studi literasi sederhana tentang ketentuan magang ke luar negeri. Melalui pencarian informasi yang open source, mahasiswa pasti dapat dengan mudah mengakses Permenaker No. 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri.
Pengetahuan tentang das sollen-nya magang di luar negeri ini akan menjadi alat bantu efektif bagi mahasiswa untuk mengidentifikasi kepalsuan informasi yang disosialisasikan pihak pelaku. Sekaligus mengantisipasi untuk tidak ikut berpartisipasi dalam magang sesat itu.
Budaya berpikir kritis mahasiswa di dunia kampus yang didukung dengan hasil studi literasi yang valid akan menciptakan sistem cegah dini yang efektif bagi mahasiswa untuk tidak terjebak menjadi korban TPPO modus magang sesat di luar negeri.
Migrasi skala besar mahasiswa Indonesia yang terjebak magang sesat ke Eropa dapat dimaknai sebagai fenonema sosial yang tentu saja berbeda dibandingkan migrasi wanita Indonesia untuk bekerja ke Malaysia. Dalam push-pull theory, terdapat empat faktor yang pengaruhi PMI wanita bekerja ke luar negeri, baik faktor di daerah asal, faktor di daerah tujuan, faktor penghalang, dan faktor pribadi.
Tujuan utama kelompok ini ke luar negeri adalah untuk mencari perbaikan kesejahteraan, tidak linier dengan tujuan magang yang menjadi wadah bagi mahasiswa untuk meningkatkan keterampilan.
Namun, dengan teori yang sama, Eropa telah memberi pull factor yang dominan bagi mahasiswa untuk ikut bermigrasi dengan program yang berisiko tinggi. Membayangkan bisa mengunjungi Menara Eifel di Paris, eksplor kincir angin Belanda, foto di Colosseum Roma tampaknya lebih dominan daripada membayangkan risiko yang dihadapi.
Pull factor ini juga yang telah dijadikan tameng pelaku untuk mengontrakan fakta tindakan eksploitatif pelaku terhadap korban TPPO di Eropa yang telah diungkap oleh penyidik Bareskrim Polri.
Pengungkapan kasus TPPO yang menggunakan modus magang sesat ke Eropa dengan sasaran kelompok mahasiswa diharapkan menjadi bahan instrospeksi bagi semua pihak untuk membenahi kelemahan yang dimanfaatkan pelaku usaha untuk kepentingan ekonominya semata. Meski tidak menyenangkan, pengalaman pahit ini harus dimaknai menjadi tantangan untuk perbaikan.
Mempersiapkan SDM unggul untuk dapat menikmati bonus demograsi Indonesia tidak hanya di kawasan regional namun juga global tentu saja menjadi tanggungjawab kita bersama untuk dapat diwujudkan pada masa yang akan datang. (*)
Kombes Pol Shinto Silitonga SIK MSi, Atase Kepolisian di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Berlin, Jerman.