Wieteke van Dort Meninggal Dunia: Arek Suroboyo yang Trauma Lihat Bambu Runcing

Rabu 17-07-2024,12:27 WIB
Reporter : Salman Muhiddin
Editor : Salman Muhiddin

BACA JUGA:Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Aku Putuskan Menetap di Nusantara (100)

BACA JUGA:Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Bayiku Hilang di Tempat Penitipan Anak (99)

Salah satu hal yang dia sampaikan adalah soal kengerian perang. Bahkan Wieteke trauma melihat monumen Bambu Runcing yang ada di pusat kota Surabaya.

"Aku selalu ngeri melihatnya (Monumen Bambu Runcing)," kata Wieteke diartikan dari Bahasa Inggris. Ketika perang revolusi terjadi, Wieteke masih berusia 2 tahun.

Bagi banyak orang Indonesia, Monumen Bambu Runcing menjadi simbol keberanian dan patriotisme.

Namun, bagi orang Belanda yang pernah bermukim di Indonesia, monumen ini dapat membangkitkan trauma masa lalu yang kelam.

Di balik semua itu, Monumen Bambu Runcing tidak hanya menjadi pengingat bagi orang Indonesia, tetapi juga bagi orang Belanda untuk belajar dari masa lalu dan membangun hubungan yang lebih baik di masa depan.

Wieteke van Dort tinggal di Candi Sidoarjo

Wieteke dilahirkan di Rumah Sakit RKZ Jalan Diponegoro, Surabaya. Ia sempat tinggal di Candi Sidoarjo dan bersekolah di kawasan Tegalsari.

Ia tinggal di Kota Delta karena sang ayah bekerja di Pabrik Gula di sana.

Namun, pada usia 18 tahun, ia pindah ke Belanda bersama sang ibu, Soesman. Soesman dimakamkan di Belanda, sedangkan Ir. T.K.L. van Dort dikebumikan di Ereveld Kembang Kuning.

Kunjungan Wieteke ke Ereveld Kembang Kuning ini tidak hanya untuk mengenang sang ayah, tetapi juga untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Indonesia.

Ia merasa bangga dengan tanah kelahirannya membuktikannya lewat dedikasi di dunia seni. 

Selamat jalan, Tante Lien. Semoga damai di keabadian dan karya-karyamu selalu menginspirasi.

Kepergianmu meninggalkan jejak yang tak terlupakan di hati kami, dan warisan budayamu akan terus hidup dalam kenangan.

Kategori :