Sesungguhnya, suatu perkara hukum diproses hukum oleh banyak penegak hukum. Tidak mungkin dilaksanakan satu orang saja. Penyidik awal perkara Vina adalah Rudiana yang saat itu anggota Satuan Narkoba Polres Cirebon. Bukan dari reserse kriminal umum yang seharusnya menyidik pembunuhan.
Penyidikan perkara dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Di BAP itulah Rudiana menorehkan tanda tangan. Kapolres Cirebon (waktu itu) juga ikut tanda tangan.
Setelah dirasa lengkap oleh penyidik, BAP dilimpahkan ke kejaksaan. Di kejaksaan BAP tersebut dipelajari. Jika jaksa merasa kurang lengkap, BAP dikembalikan ke penyidik polisi untuk dilengkapi. Setelah BAP dilengkapi polisi dan dikirimkan lagi ke kejaksaan, pihak kejaksaan menyatakan lengkap. Maka, diberi kode P-21 alias berkas dinyatakan lengkap.
Di perkara Vina, pasti kejaksaan sudah menyatakan bahwa BAP sudah lengkap atau P-21. Sebab, setelah P-21, pihak kejaksaan menunjuk jaksa penuntut umum yang bakal maju ke persidangan. Kemudian, perkara diadili di pengadilan. Dan, perkara Vina sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Suatu perkara yang sudah inkrah masih bisa diadili ulang. Jalan masuk ke sana satu-satunya adalah pengajuan PK ke Mahkamah Agung. Itulah yang kini akan dilakukan kuasa hukum tujuh terpidana itu.
Di kasus ini ada delapan terpidana. Satu lagi bernama Saka Tatal. Ia dijatuhi vonis hukuman delapan tahun empat bulan penjara dalam sidang perkara itu pada 2017. Saka dihukum lebih ringan daripada tujuh lainnya. Sebab, saat kejadian ia berusia 15 tahun atau sebagai anak di bawah umur. Saka menjalani hukuman empat tahun setelah dipotong aneka remisi. Ia bebas pada April 2021.
Jika tujuh narapidana itu mengajukan PK, sangat mungkin Saka Tatal juga bakal mengajukan hal yang sama. Sebab, ada hadiah seandainya PK dikabulkan Mahkamah Agung. Hadiahnya berupa ganti rugi akibat salah tangkap dan salah hukum.
Hal itu diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 95 KUHAP. Sedangkan, rehabilitasi bagi korban salah tangkap dan salah hukum diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 97.
Besaran hadiah (ganti rugi materil) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015. Besarannya bervariasi, bergantung kondisi korban salah tangkap. Mulai Rp 500 ribu hingga Rp 600 juta. Tapi, jika korban salah tangkap atau salah hukum sampai mati, besaran ganti rugi Rp 50 miliar.
Hadiah itu pastinya diburu para terpidana kasus Vina. Tujuh terpidana yang kini menjalani hukuman sampai mereka mati (penjara seumur hidup) pasti memburu keras hadiah tersebut. Ibaratnya, mereka bakal bangkit dari kubur. (*)