Komunitas Arab di kota-kota pesisir Jawa dan wilayah Indonesia lainnya mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19. Sejak 1869, pelayaran dengan kapal uap antara Eropa menuju Arab mengalami perkembangan pesat dengan dibukanya Terusan Suez.
Kapal-kapal Eropa itu selanjutnya menuju Asia Tenggara, khususnya ke Nusantara. Intensnya pelayaran itu makin meningkatkan jumlah orang-orang Arab di Indonesia. Pada awal abad ke-19 terdapat sekitar 621 orang Arab dan Moor yang tinggal di Jawa sebagai pedagang dan pemimpin agama.
Mereka menyebar hampir di seluruh kota-kota pantai di Jawa, termasuk Surabaya. Selanjutnya, antara tahun 1870 dan 1900, orang-orang Arab di Indonesia bertambah dari 13 ribu menjadi 27 ribu. Tahun 1920 tercatat 45 ribu orang dan tahun 1930 meningkat menjadi sekitar 71.335 (Patji, 1988).
Orang-orang Arab yang ada di Surabaya, yang menjadi nenek moyang A.R. Baswedan, berasal dari Hadramaut. Ketika tiba di Surabaya, mereka memilih bertempat tinggal di daerah Ampel dan sekitarnya. Di daerah Ampel Gading itulah, pada Jumat, 11 September 1908, A.R. Baswedan lahir.
A.R. BASWEDAN DAN REVOLUSI RASIAL
Secara garis besar, masyarakat Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yakni sayid dan non-sayid. Dua golongan itu kemudian mengorganisasikan dirinya ke dalam Ar-Rabitah (sayid) yang berdiri pada 1928 dan Al-Irsyad (non-sayid) pada 1915 (Suratmin, 2014).
”Sayid” dan ”bukan sayid” merupakan ciri pelapisan sosial yang menonjol, khsususnya di Kota Surabaya. Sayid adalah identifikasi diri sekelompok orang Arab yang menyatakan dirinya sebagai golongan ”Alawiyyin”.
Mereka beranggapan bahwa diri mereka adalah keturunan langsung Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan anak perempuan nabi, yaitu Fatimah istri Ali bin Abi Thalib, sedangkan yang tidak tergolong sayid berarti tidak memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW (Patji, 1988).
Kenyataan itulah yang membuat hati A.R. Baswedan miris. Menurutnya, jika pertentangan itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan membawa kehancuran. Itulah yang kemudian mendorongnya untuk merintis pendirian Partai Arab Indonesia (PAI). Pendirian partai tersebut merupakan bagian dari kecintaan komunitas Arab kepada tanah air baru (Indonesia). Partai yang didirikan pada 1934 itu semula bernama Persatuan Arab Indonesia.
Kecintaan kelompok itu kepada Indonesia tecermin dari Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang dicetuskan enam tahun setelah sumpah pemuda 1928. Isi dari sumpah tersebut adalah: 1) Tanah Air Peranakan Arab Indonesia ialah Indonesia; 2) Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi); dan 3) Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia (Basyaib, 1999).
Mencermati kiprahnya dalam menjaga dan merawat keindonesiaan kita, tidak heran jika pemerintah kemudian menganugerahi beliau sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2018.
Hal itu sejalan dengan ungkapan almarhum Buya Ahmad Syafii Maarif, ”... bahwa A.R. Baswedan patut benar dipertimbangkan untuk menjadi pahlawan nasional par excellence, sekalipun barangkali ruhnya tidak akan hirau pada penghargaan semacam itu. Dalam dirinya menyatu dengan rapi nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, jurnalisme, moral, politik, dan kebudayaan.
Dengan semua kiprahnya, Baswedan tidak diragukan lagi sebagai salah satu tonggak utama mekarnya nasionalisme Indonesia.” Selain A.R. Baswedan, tentu banyak tokoh lain yang patut mendapat tempat terhormat dalam perjalanan sejarah bangsa ini.
Hormat dan hening cipta seraya mendoakan mereka patut kita lakukan sebagai bangsa yang mencintai pahlawannya. (*)
*) Sarkawi B. Husain, pengajar di Departemen Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Airlangga dan penulis buku Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan--