Akhir-akhir ini merebak isu pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan faktor lain yang menjadi persoalan yang serius. Berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan, dari Januari hingga Juni, telah terjadi PHK terhadap 101.536 pekerja di seluruh Indonesia.
Sebagai gambaran pengangguran di Indonesia, jumlah angkatan kerja berdasar survei angkatan kerja nasional (sakernas) pada Februari 2024 sebanyak 149,38 juta orang. Itu naik 2,76 juta orang bila dibandingkan dengan Februari 2023.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) naik 0,50 persen poin bila dibandingkan dengan Februari 2023. Penduduk yang bekerja pada Februari 2024 sebanyak 142,18 juta orang, naik sebanyak 3,55 juta orang dari Februari 2023. Lapangan usaha yang mengalami peningkatan terbesar adalah penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum sebesar 0,96 juta orang.
Pada Februari 2024 sebanyak 58,05 juta orang (40,83 persen) bekerja pada kegiatan formal, naik sebesar 0,95 persen poin daripada Februari 2023. Persentase setengah pengangguran pada Februari 2024 naik sebesar 1,61 persen poin. Sementara itu, pekerja paruh waktu turun 0,73 persen poin daripada Februari 2023.
Jumlah pekerja komuter Februari 2024 sebesar 7,13 juta orang, turun 0,05 juta orang daripada Februari 2023. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2024 sebesar 4,82 persen, turun 0,63 persen poin daripada Februari 2023.
Data BPS tersebut di atas kemungkinan dapat membawa efek pesimisme bagi generasi muda. Namun, ada hal-hal yang sedikit memberikan optimisme bagi kita masyarakat Indonesia. Sebab, ada peluang memberikan solusi dalam mengatasi persoalan pengangguran.
Pertama, terbukanya lapangan kerja di sektor informal. Dengan aturan tidak begitu ketat bila dibandingkan dengan di negara maju. Di Indonesia, setiap orang bisa bekerja di sektor informal seperti berdagang, sektor jasa, dan lain-lain.
Contohnya, salah satu kegiatan ekonomi masyarakat desa di Lamongan yang tergabung dalam Komunitas Rengkek Lamongan (Korela). Anggotanya yang berjumlah lebih dari 70 orang dan terdiri atas ibu-ibu dan bapak-bapak itu memproduksi dan menjual makanan seperti kue, lauk, dan lain-lain. Setiap pagi pukul 03.00 mereka sudah berada di pasar.
Produsen makanan yang biasanya ibu-ibu membawa barang ke pasar, kemudian di situ pula sudah siap rengkek untuk menjajakan makanan. Pembayarannya dilakukan setelah barang dagangan terjual. Kira-kira pukul 11.00, mereka berkumpul kembali untuk menyelesaikan transaksi.
Menurut keterangan, rata-rata setiap hari mendapatkan keuntungan Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Cukup lumayan penghasilan itu bagi mereka yang tinggal di desa. Demikian pula informasi-informasi dari YouTube dan lain-lain, para pedagang makanan di pinggir jalan mempunyai pendapatan yang cukup tinggi. Contoh, penjual pisang goreng di pinggir jalan memiliki omzet jutaan rupiah per hari. Masih banyak contoh lain.
Kedua, kegiatan ekonomi di luar pertanian terbuka bagi penduduk desa. Bahkan, ada kalanya di desa tidak mudah mencari tenaga kerja di sektor pertanian. Yakni, desa-desa yang sedang mengalami perubahan sosial budaya dan kapitalisme.
Pola konsumsinya tidak jauh berbeda. Bahkan, sejumlah rumah di desa ditinggalkan pemiliknya karena migrasi ke kota besar atau negara lain. Mereka yang sukses bisa mengirimkan uang ke keluarganya di desa untuk digunakan membiayai kegiatan pertanian, memperbaiki rumah, membeli tanah, dan lain-lain.
Dengan demikian, saat kegiatan pertanian di desa berjalan, bahkan pada musim sibuk, tidak mudah mendapatkan tenaga kerja di sektor pertanian.
Ketiga, gig economy dapat dilakukan oleh orang desa dan kota sebagai tenaga kerja paruh waktu maupun penuh. Bahkan, sejak terjadi pandemi Covid-19, terbuka peluang sistem pembelajaran daring diterapkan sejak sekolah dasar.
Hal itu memicu munculnya guru-guru daring untuk mendampingi kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan teknologi. Kegiatan gig economy di bidang lain juga bermunculan seperti youtuber, Tik-Tok, freelance, dan lain-lain.
Namun, keberlanjutan the gig econmy perlu ditunjang sektor kegiatan ekonomi riil. Sektor riil adalah sektor yang sesungguhnya, yaitu sektor yang bersentuhan langsung dengan kegiatan ekonomi di masyarakat dan sangat memengaruhi atau yang keberadaannya dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi.