Sebagian besar bentuk perundungan berupa kekerasan verbal atau ancaman atau intimidasi (94,1 persen). Diikuti pelecehan seksual (5,3 persen) dan penyerangan fisik (1,5 persen).
Para korban, hanya sebagian kecil (20,7 persen) yang melaporkan perundungan itu ke lembaga pemerintah atau polisi. Sisanya diam saja.
Mengapa korban diam? Alasan yang paling banyak disebutkan adalah ”itu tampak normal. Jadi, saya bertahan, seperti orang lain” (40,7 persen).
Alasan kedua tidak melaporkan perundungan adalah ”tidak yakin, kepada siapa harus mengadu? Sebab, kalau salah tempat pengaduan justru membahayakan” (33 persen).
Akibat perundungan di kalangan dokter dan dokter spesialis, perawatan pasien di sana buruk. Imbasnya, hal itu berisiko terhadap keselamatan pasien.
Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah termasuk negara yang kekurangan jumlah dokter? Jawabnya: pasti, Indonesia sangat kekurangan jumlah dokter. Apalagi, jumlah dokter spesialis jauh di bawah standar internasional.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada sambutan di acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) tahun 2024, Rabu, 24 April 2024, mengatakan:
”Saat ini jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Di mana rasionya hanya 0,47 dan menempati urutan 147 di dunia. Kami akan kejar.”
Sementara itu, di jumpa pers Rakerkesnas 2024 itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kekurangan dokter di Indonesia telah menjadi masalah sejak masa kemerdekaan Indonesia (sudah 79 tahun). Terlebih, jumlah dokter spesialis masih sangat minim.
Bahkan, berdasar perhitungan, Indonesia membutuhkan waktu 20 tahun ke depan untuk mencapai standar jumlah dokter spesialis yang menjadi acuan dunia.
Menkes Budi: ”Dokter spesialis sangat sedikit karena biayanya sangat mahal. Di Indonesia untuk menjadi dokter spesialis, dokter harus berhenti praktik terlebih dulu. Kemudian, daftar kuliah, kemudian ikut kuliah, dan setelah selesai kuliah empat tahun, baru boleh praktik lagi.”
Menurutnya, pendidikan kedokteran di berbagai negara di dunia menggunakan hospital based atau dilakukan di rumah sakit. Menkes mengatakan, Indonesia menerapkan konsep yang sama untuk pendidikan dokter spesialis.
Budi: ”Untuk pendidikan dokter spesialis akan dilakukan berdasarkan collegium based bekerja sama dengan hospital based. Dokter umum tetap akan bekerja sama dengan perguruan tinggi.”
Sampai di sini, masyarakat bisa tambah bingung. Kepo belum terjawab juga. Jika jumlah dokter dan dokter spesialis sangat kurang, terus mengapa justru peserta PPDS di-bully dokter senior? Bahkan, mengapa jumlah kasus bullying sampai sebanyak itu?
Jawabnya: belum ada riset soal itu di Indonesia. Belum ada jawaban akurat. Mungkin, para dokter senior pelaku perundungan berpikiran sama dengan rerata pemikiran masyarakat miskin Indonesia: ”Enak aja lu… mau jadi dokter spesialis. Gak gampang, tau….” (*)