Perempuan Makin Tak Berdaya di Bawah Kekuasaan Taliban, Dunia Tak Mampu Berbuat Banyak

Minggu 01-09-2024,15:06 WIB
Reporter : Elsa Amalia Kartika Putri*)
Editor : Mohamad Nur Khotib

Uni Eropa juga mengatakan undang-undang baru tersebut menciptakan hambatan lain bagi normalisasi hubungan dengan Afghanistan.

BACA JUGA:Facebook dan Twitter Amankan Akun Pengguna Afghanistan di Tengah Gejolak Taliban

Hal ini menandakan bahwa pengakuan Eropa terhadap rezim Taliban hanya dapat dicapai jika Kabul sepenuhnya menghormati kewajiban internasional  dan kewajiban terhadap rakyat Afghanistan.

Pada tahun pertama pemerintahan Taliban, situasi tidak seburuk yang dikhawatirkan banyak orang. "Jurnalis masih bekerja dan perempuan masih bisa menempuh pendidikan di universitas,” ujar Mélissa Cornet, seorang spesialis isu gender di Afghanistan. 

“Taliban benar-benar ingin diakui oleh masyarakat internasional. Mereka memberikan banyak jaminan dan ada harapan nyata bahwa mereka telah berubah,” imbuhnya.

BACA JUGA:Kemerdekaan Perempuan Indonesia

Namun, optimisme ini tidak bertahan lama. Begitu Taliban menyadari bahwa mereka tidak akan diakui secara resmi dengan mendapatkan kembali kursi di PBB dan aset bank sentral yang dibekukan, mereka pun berbalik arah. 

"Mereka berkata kepada diri mereka sendiri, 'Jika kami bermain dan tidak mendapat imbalan apa pun, kami akan melakukan apa pun yang kami inginkan di dalam negeri',” tambahnya.

Sejak masyarakat internasional menjadikan hak-hak perempuan sebagai fokus perhatian, Taliban semakin sulit untuk berkompromi.

Mereka menolak membuka kembali sekolah untuk perempuan, yang akan dianggap sebagai kekalahan oleh kalangan ultrakonservatif di dalam tubuh Taliban.

“Jika mereka mengumumkan bahwa sekolah akan dibuka kembali [untuk perempuan], hal itu akan dilihat sebagai kekalahan bagi pihak internasional,” ujar Cornet.

BACA JUGA:Komnas Perempuan Desak DPR untuk Segera Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Sudah 20 Tahun Mangkrak

Ironisnya, keamanan di Afghanistan dianggap lebih penting bagi negara-negara Barat dibandingkan hak-hak perempuan. Heather Barr dari Human Rights Watch menyesalkan bahwa krisis di Afghanistan telah terpinggirkan oleh konflik lain seperti perang di Ukraina. 

“Kurangnya respons internasional yang efektif memberi kesan bahwa hak-hak perempuan bukanlah perhatian utama bagi para pemimpin dunia," katanya.

Sementara itu, perempuan Afghanistan terus berjuang agar suara mereka terdengar. Meskipun dilarang untuk menyuarakan pendapat di depan umum. 

BACA JUGA:Perjuangan Perempuan di Balik Kain, Pameran Wastra Nusantara Koleksi KCBI

Kategori :