Proyek modernisme telah dianggap gagal dan hanya menerbitkan utopisme di dalam medan seni rupa. Kini, kondisinya berbanding terbalik. Perupa, medan seni rupa, dan wacana yang menyertainya telah memasuki ‘dunia lain’.
Yaitu kondisi post-modern. Dunia baru ini jauh lebih menantang, karena dia hadir sebagai anti tesis modernisme. Kata Morgan, kondisi post-modern memicu perupa menemukan kembali transmisi dorongan kreatif (to rediscover the transmission of the creative impulse).
Pameran ini hadir di tengah hiruk-pikuk kondisi post-modern. Sesungguhnya dipraktikan dalam situasi ambigu secara luas. Perupa bersama medan seninya pun juga terkondisi dalam tantangan perubahan besar dalam era digitalitas dan virtualitas.
BACA JUGA: 12 Perupa Komperta Sidoarjo Ramaikan Pameran Lukisan Rindu Berbisik
Selain kondisi yang telah dijelaskan di atas. Maka, pameran ini perlu didudukan kebermaknaannya dalam kondisi seperti itu. Kehadiran pameran bertajuk Merdeka ini tersembunyi hasrat dan energi kreatif.
Yang itu tidak ingin terkurung ke dalam medan seni rupa yang tengah dalam kondisi ambigu. Tidak terjaga oleh medan wacana yang sehat, riuh, dan kritis. Meskipun demikian, perupa tetap, merdeka!
Sementara Yaksa, menulis esai bertajuk Kata Mer(d)eka. Menurutnya, ketika sebuah karya sudah hadir di tengah tengah masyarakatnya, melalui sebuah pameran, setiap karya tentu memiliki kekuatan untuk menunjukkan jati diri para senimannya.
Makna pameran bertajuk Merdeka oleh Kelompok Merdeja bisa dsimak dari dua esai dua penulis yakni dua kurator ternama Indonesia Djuli Djatiprambudi dan Yaksa Agus. Tampak Djuli saat sambutan dalam pembukaan. --Jogja Gallery
BACA JUGA: Rayakan Hubungan Diplomatik, Tiongkok dan Prancis Gelar Pameran Mode di Hongkong
Dengan harapan, gairah gagasan dan pesona visual menjadi suatu ramuan atau perpaduan sebuah tontonan yang memiliki daya gugah. Sepuluh perupa dari berbagai genre, dan juga perbedaan usia, mengusung nama Kelompok Merdeka sebagai nama.
Mereka yang terdiri dari Katirin, Sugiyo, Ariel Ramadhan, Arik S Wartono, Ray Bachtiar Drajat, Cipto Purnomo, Daniel Timbul, Heru Siswanto, Komroden Haro, dan Suranto Kenyung, menerjemahkan kata merdeka yang dalam bahasa Sansekerta adalah maharddhika.
Dalam bahasa Jawa, disebut mardika yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Besar harapannya kelompok ini akan terus konsisten berkarya dan mewujudkan kemerdekaan dalam berkarya.
BACA JUGA: Adakan Pameran Geospatial Exhibition, BIG Gelar One Map Policy Summit 2024
"Dalam pameran ini, saya menuliskannya dalam judul tulisan dengan kata “Mer(d)eka”--dengan memberi tanda kurung pada huruf 'd'. Karena saya lebih menggarisbawahi 'karya-karya mereka dan seperti apa kata mereka'," tulis Yaksa.
Kata itu disampaikan melalui bahasa visual masing masing”. Bagaimana mereka menghadirkan “tanda” yang berupa konsep dari karya, dan juga “penanda” yang berupa unsur yang terasa pada karya mereka. (*)