Implementasi GRC, Gerakan Etis Filterisasi Tsunami Teknologi AI

Senin 16-09-2024,08:03 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Robot yang dapat bekerja 24 jam dengan cepat, tepat, tanpa rasa capek, seperti error detection dengan sistem dan program yang canggih sehingga memungkinkan kinerja maksimal tanpa error. Dengan demikian, hal tersebut menjadi saingan terberat bagi tenaga manusia yang terbatas.

MITIGASI POTENSI ANCAMAN

Sebagaimana dalam laporan Preparedness Index atau indeks kesiapan AI yang dilakukan Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun 2023, secara mengejutkan Singapura menjadi negara yang paling siap menerapkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). 

Itu tecermin dari skor AI yang sebesar 0,801 poin. Angka tersebut berdasar skor dari empat elemen penyusun indeks. Empat elemen tersebut adalah infrastruktur digital, kebijakan modal manusia dan pasar tenaga kerja, inovasi dan integrasi ekonomi, serta regulasi dan etika. 

Posisi kedua ditempati Denmark dengan meraih skor indeks kesiapan AI sebesar 0,779 poin. Posisinya diikuti Amerika Serikat dan Belanda yang mendapatkan skor masing-masing 0,771 poin dan 0,766 poin. Skor indeks kesiapan AI milik Estonia sebesar 0,764 poin. 

Kemudian, Finlandia mencatatkan skor indeks kesiapan AI sebesar 0,758 poin pada 2023. Swiss menempati urutan berikutnya dengan skor sebesar 0,757 poin. Sementara itu, skor indeks kesiapan AI yang diraih Selandia Baru sebesar 0,754 poin. 

Melesatnya Singapura sebagai negara paling siap menerapkan sistem AI di luar dugaan semua pihak karena posisinya di atas negeri Paman Sam yang merupakan negara adidaya teknologi AI. 

Adapun IMF menyusun peringkat indeks kesiapan AI terhadap 174 negara di dunia. Indonesia tercatat berada di posisi ke-61 dengan skor indeks kesiapan AI sebesar 0,516 poin pada 2023. Posisi Indonesia tepat di bawah Mauritius yang meraih skor 0,525 poin. Posisi Indonesia juga masih di bawah beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia yang meraih skor sebesar 0,632 poin dan Thailand sebesar 0,536 poin. 

Setelah beberapa dekade perkembangan di bidang AI, perdebatan tentang topik tersebut belakangan terfokus pada, antara lain, chatbot ChatGPT yang dirilis pada November 2022 yang langsung memicu kontroversi.

Pada Maret 2023, Italia langsung merespons dengan menjadi negara pertama yang memblokir perangkat lunak tersebut, setidaknya untuk sementara. Akan tetapi, sekarang diizinkan lagi meskipun terdapat pembatasan usia bagi penggunanya.

Banyak kalangan ilmuwan yang melihat ketakutan akan AI secara umum berakar pada kompleksitas teknologi. Kekhawatiran muncul terutama terkait dengan mode operasi yang berjalan secara in cognito

Beberapa dari ilmuwan mempertanyakan tentang, misalnya, apa dampak AI terhadap profesi seseorang merupakan kekhawatiran yang rasional dan bukan ketakutan yang berlebihan terhadap mesin. Memprediksi bahwa penyebaran AI akan membuat semua upaya kreatif manusia menjadi sia-sia. Bahwa mesin akan mengambil alih dunia dalam waktu dekat, itu adalah kepanikan. 

Bahkan, ilmuwan komputer terkemuka, sekaligus Bapak AI, Geoffrey Hinton, sampai harus pensiun dari Alphabet Inc, induk perusahaan Google, lantaran khawatir bahwa AI akan menjadi teknologi yang tak terkendali. 

Kata Hinton, akan sangat sulit mencegah aktor-aktor jahat dalam penggunaan AI. Hinton merasa prihatin akan bahaya disinformasi yang dipicu foto, video, dan hoaks seperti terjadi di Inggris baru-baru ini. 

Munculnya beberapa risiko tersebut sebetulnya oleh beberapa ilmuwan yang pro-teknologi AI bisa dimitigasi. 

Pertama, penerapan aspek governance, yakni dengan mengimplementasikan tata kelola yang baik. Berupa penerapan kebijakan yang ketat dan selektif untuk memastikan bahwa source yang digunakan AI adalah akurat, relevan, dan sesuai dengan regulasi pemerintah dalam menjaga ranah privasi. 

Kategori :