Diberi contoh, restoran mewah bernama Robotazia di Buckinghamshire, di sekitar 80 kilometer barat laut London, Inggris, di akhir 2022 menggunakan human robot untuk seluruh pelayan. Cantik-cantik, luwes, murah senyum, ramah. Tapi, semuanya robot.
Tahu-tahu, pada Maret 2023 restoran itu bangkrut. Ditutup. Cuma buka beberapa bulan. Penyebab bangkrut hanya diketahui pemilik. Tapi, beredar isu, akibat mahalnya biaya perawatan robot. Memang robot tidak makan gaji, tapi harus dirawat.
Ling: ”Meskipun otomatisasi dan robotika menghadirkan hal baru dan efisiensi pada industri tertentu, dampak keseluruhannya pada pekerjaan dapat menjadi rumit dan beragam, dengan masalah termasuk biaya pemeliharaan, tantangan perekrutan, dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan situasi ekonomi yang berubah.”
Petugas customer service sudah diotomasi. Chatbot sudah diterapkan di area itu. Namun, ketidakmampuannya memahami skenario yang rumit mengakibatkan kegagalan layanan. Alhasil, pelanggan tidak puas. Dukungan manusia harus dipertahankan bersama chatbot. Terutama di industri perhotelan, saat interaksi manusia, empati, dan kecerdasan emosional/sosial sangat penting bagi loyalitas pelanggan.”
AI telah digunakan untuk diagnostik medis, interpretasi radiologi, dan pemantauan pasien. AI membantu profesional perawatan kesehatan dengan analisis data, pencitraan, dan pengambilan keputusan. AI diperlukan dalam tugas-tugas sulit yang memerlukan koordinasi tangan-mata yang baik dan pelaksanaan fisik. Tapi, pekerjaan kreatif tetap dikuasai manusia.
Kendati, Prof Ling senada dengan pidato Jokowi, bahwa sebentar lagi akan sangat banyak pekerjaan manusia digantikan AI. Di era awal perubahan ini, ketika restoran robot bangkrut, pasti pembikin robot terus berupaya mengembangkan kualitas robot. Pada titik tertentu bakal tercipta robot yang benar-benar efisien. Saat itulah pekerjaan pelayan restoran (bagi manusia) punah.
PHK massal sudah di depan mata. Puluhan juta pekerja Indonesia bakal menganggur tahun depan. Mereka jadi miskin. Jutaan orang dari mereka bakal jadi penjahat baru.
Bapak Kriminologi Dunia Cesare Lombroso (Verona, Italia, 6 November 1835–Turino, Italia, 19 Oktober 1909) mengatakan, ”Kemiskinan adalah ibu dari kejahatan.” Pepatah Amerika kuno menyatakan, ”Idle hands are the devil’s workshop.” Pepatah Jawa mengatakan, ”Urusan weteng, moto dadi peteng.” Kemiskinan membuat manusia gelap mata, jadi penjahat.
Dikutip dari buletin ilmiah Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, AS, publikasi 3 Maret 2020, berjudul Layoffs lead to higher rates of violent offenses and property crimes: Study, mengungkapkan hasil riset 2019 di AS. Yakni, PHK massal mengakibatkan peningkatan tuntutan pidana 20 persen pada tahun setelah PHK.
Hasil riset itu diterbitkan ekonom dari Case Western Reserve University, Prof Mark Votruba. Orang kehilangan pekerjaan yang tidak disengaja (bukan karena kesalahannya) menyebabkan peningkatan dramatis dalam perilaku kriminal.
Riset itu diterbitkan di jurnal Labour Economics. Disebutkan, itu merupakan studi pertama yang menetapkan hubungan sebab akibat antara hilangnya pekerjaan seseorang dan aktivitas kriminal yang dilakukannya (pria).
Votruba: ”PHK menyebabkan peningkatan tuntutan pidana terhadap pekerja laki-laki yang kehilangan pekerjaan. Sekaligus mengurangi penghasilan masa depan dan kesempatan kerja penuh waktu mereka.”
Salah satu mekanisme penting di balik dampak ini adalah orang ter-PHK merasa kehilangan penghasilan dan jadwal harian. Jadi, selain soal uang, juga soal rutinitas kerja sehari-hari yang hilang. Itu membuat orang merasa terpuruk.
Votruba: ”Korelasi yang tidak menguntungkan ini menyoroti pentingnya faktor psikologis. Misalnya, tekanan mental, pengendalian diri, masalah keuangan, dan rasa frustrasi, dalam menentukan perilaku yang kontraproduktif.”
Maksudnya, tidak semua orang ter-PHK jadi penjahat. Tidak. Banyak juga yang tidak melakukan kejahatan. Bergantung pada faktor psikologis orang tersebut.
Periset meyakini, temuan mereka dapat membantu pembuat kebijakan publik lebih memahami hubungan antara kehilangan pekerjaan dan kejahatan. Kemudian, pembuat kebijakan merancang intervensi kebijakan yang meminimalkan biaya yang ditimbulkan oleh PHK pada individu yang di-PHK dan masyarakat.