KURANG sebulan lagi warga Provinsi Jawa Timur (Jatim) punya gawe pesta demokrasi pasca pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg). Tepatnya, pada 27 November 2024, provinsi yang memiliki moto ”Jer Basuki Mawa Bea” itu mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pilkada yang akan memilih gubernur juga akan dilaksanakan secara serentak di seluruh provinsi Indonesia.
Secara geografis, Jatim merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Provinsi yang menampung populasi berjumlah kurang lebih 41 juta jiwa dan terbagi menjadi 29 kabupaten dan 9 kota. Ibu kota provinsinya di Kota Surabaya.
BACA JUGA: Tolak Kursi Kabinet, Khofifah Pilih Ikut Pilkada Jatim
BACA JUGA: Ini 5 Daerah yang Diisi Calon Tunggal di Pilkada Jatim 2024
Jatim merupakan provinsi yang diandalkan sebagai penyangga perekonomian nasional dengan kontribusinya sebesar 14,36 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional, dengan angka atas dasar harga berlaku mencapai Rp 2.953,54 triliun, dan PDRB per kapita mencapai Rp 71,12 juta.
Tingginya kontribusi terlihat dari produk domestik regional bruto (PDRB) nonmigas Jatim yang mencapai 6,13 persen lebih tinggi daripada provinsi lainnya di Pulau Jawa.
Wilayah Jatim adalah kawasan budaya yang luas dan beragam. Secara sosiolinguistik, wilayah budaya Jawa Timur terbagi antara subbudaya Mataraman, Panaragan, Arekan, Madura, Pandalungan, Tengger, Osing, Bawean, dan lainnya.
BACA JUGA: Ngalap Berkah Stimulus Ekonomi dari Pilkada Jatim 2024
BACA JUGA: Gerindra Berambisi Menangkan 24 Pilkada Jatim, Ini Daftar Kabupaten/Kota Sasarannya..
Secara historis, wilayah Jatim pernah menjadi patok sejarah Nusantara (dari Kahuripan sampai Majapahit) yang sedikit banyak membentuk ekspresi sosial budaya masyarakatnya hingga kini (Nooteboom, G.,2003).
Mencermati aspek wilayah budaya dalam konteks komunikasi pemerintahan mungkin jarang dilakukan para pemangku amanah. Dengan begitu, kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan sering kali kurang merefleksikan dinamika aspirasi masyarakat secara nyata.
Akibatnya, kebijakan tersebut tidak sesuai takaran dan tidak menjadi solusi bagi dinamika berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks komunikasi pemerintahan, mengenal masyarakat secara sosiokultural akan memudahkan pengemban amanah dalam mengomunikasikan dan mengeksekusi kebijakan tersebut secara efektif kepada seluruh lapisan masyarakat.
Konsep sosiokultural berusaha menggabungkan konsep pemikiran yang bersifat budaya dan sosial atau bagaimana unsur-unsur budaya (ide, ritual, objek) tersebar di berbagai wilayah geografis, dan setiap lokasi geografis tertentu ini memiliki karakteristik khas budaya penduduknya masing-masing, seperti bahasa, sejarah, kebiasaan, dan seni.
Immanuel Wallerstein (2011) mendefinisikan sosiokultural sebagai ”seperangkat ide, nilai, dan norma yang diterima secara luas di seluruh sistem dan yang membatasi tindakan sosial setelahnya”.