Implementasi QRIS dan Inklusi Sistem Ekonomi Digital

Rabu 09-10-2024,06:00 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Kelima, pengadopsian oleh pedagang (merchant). Banyak pedagang, terutama di sektor ritel dan kuliner, telah mengadopsi QRIS sebagai metode pembayaran. Penyedia layanan pembayaran digital dan dompet digital juga secara aktif terdorong mempromosikan penggunaan QRIS di antara pelanggan dan mitra bisnis mereka. 

Keenam, promosi dan insentif. Beberapa penyedia layanan pembayaran digital memberikan promosi dan insentif bagi pengguna yang menggunakan QRIS untuk bertransaksi. Hal itu bertujuan merangsang minat pengguna dan mempercepat adopsi QRIS. 

Ketujuh, perkembangan teknologi. Kemajuan teknologi, khususnya peningkatan kualitas kamera ponsel pintar (smartphone), membuat penggunaan QRIS kian praktis. Pengguna dapat dengan mudah dan cepat memindai kode QR menggunakan kamera ponsel mereka. 

Kedelapan, tren global. Tren penggunaan QRIS tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya. Fenomena itu sejalan dengan pergeseran global menuju pembayaran digital yang lebih praktis dan efisien. 

Mengutip laman resmi World Bank, layanan jasa keuangan harus bersifat inklusif berarti mudahnya akses bagi setiap orang atau bisnis untuk bisa memanfaatkan produk ataupun layanan keuangan. 

Layanan itu berperan penting untuk bisa memenuhi segala kebutuhan manusia setiap hari. Mulai transaksi pembayaran, tabungan, kredit, hingga asuransi yang bisa dikerjakan secara efektif dan kontinu.

MEWASPADAI POTENSI RISIKO KEJAHATAN DIGITAL

Bagaimanapun, selain dampak positif pemanfaatan QRIS ke dalam ekosistem transaksi ekonomi digital, perlu dipertimbangkan pula dampak negatif yang ditimbulkannya. Ada sejumlah faktor yang perlu menjadi pertimbangan. 

Pertama, ancaman keamanan terhadap kebocoran data. Menganalisis risiko keamanan terkait QRIS, termasuk potensi penipuan dan ancaman siber yang dapat merugikan bisnis dan konsumen. Salah satu risiko utama yang terkait dengan QRIS adalah potensi ancaman kebocoran data sensitif pengguna. 

QRIS rentan terhadap penipuan dan pencurian identitas, terutama karena transaksi dilakukan secara digital. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan celah keamanan untuk merugikan bisnis dan pelanggan. Belakangan potensi kebocoran data kian mengkhawatirkan terkait bobolnya Pusat Data Nasional (PDN) beberapa waktu lalu. 

Kedua, aspek tantangan integrasi. Menghadapi tantangan yang mungkin dihadapi dunia bisnis dalam mengintegrasikan sistem QRIS dengan infrastruktur yang sudah ada, terutama untuk bisnis kecil dan menengah. 

Implementasi QRIS tidak selalu tanpa tantangan, terutama untuk bisnis yang sudah memiliki sistem pembayaran dan infrastruktur yang mapan. Integrasi QRIS dapat memerlukan investasi yang tidak kecil dalam teknologi dan pelatihan karyawan, dan tidak semua bisnis mampu menghadapi tantangan ini. 

Ketiga, faktor ketergantungan pada teknologi. Pentingnya memahami risiko akan ketergantungan terhadap teknologi dan kerentanannya terhadap gangguan teknis yang dapat merugikan kelangsungan bisnis. Maraknya QRIS berpotensi membawa risiko ketergantungan terhadap teknologi. 

Bisnis yang sangat bergantung pada QRIS dapat menjadi rentan terhadap gangguan teknis, kegagalan sistem, atau serangan siber. Ketergantungan itu dapat merugikan operasional dan reputasi bisnis.

Berkembangnya praktik-praktik bisnis yang makin terintegrasi ke dalam lanskap teknologi digital merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Namun, dengan hadirnya pemerintah dengan menyediakan seperangkat regulasi yang ketat dan sikap kehati-hatian para pengguna, aspek inklusi keuangan niscaya akan tercapai dengan baik. (*)


*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.

Kategori :