Sistem pendidikan kedokteran, yang seharusnya menjaga standar tinggi, menjadi tempat korupsi yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip akademis.
Rangkaian kasus di atas menunjukkan problematika kultur akademis yang jauh lebih kompleks daripada sekadar kritik atas bahasa mahasiswa.
Kampus, yang seharusnya menjadi penjaga nilai moral dan akademis, justru terjerat dalam praktik yang menunjukkan kemerosotan etis.
Ironis ketika institusi yang bertugas mendidik generasi penerus bangsa justru gagal menegakkan nilai-nilai akademis yang mereka kampanyekan.
Bila kita menyaksikan fenomena obral gelar kehormatan, mafia jurnal predator, kekerasan seksual yang ditutupi, hingga korupsi kuota pendidikan kedokteran, maka patutkah para pengelola kampus mengaku sebagai penjaga etika akademis?
Mengapa bisa demikian?
Tentu saja, untuk menjawab problem etis yang berkelindan dengan persoalan struktural tentu sangatlah tidak mudah.
Namun beberapa pakar pendidikan menjawab persoalan ini dalam satu judul spesial isu publikasi internasional dengan judul “In search of the Ethical University” (Sutherland-smith dan Salmarth, 2011). Mereka menyimpulkan beberapa faktor yang mendorong persoalan etis di dunia kampus saat ini.
Pertama, banyak universitas telah menerapkan matrik produktivitas untuk menilai kinerja akademik, terutama dalam penelitian.
Hal ini dapat menciptakan budaya “publish and perish” di mana para akademisi tertekan untuk menghasilkan publikasi secara sering, daripada berfokus pada penelitian berkualitas tinggi yang memiliki dampak signifikan, yang pada akhirnya dapat mengorbankan integritas ilmiah.
Kedua, Kesetaraan dan inklusi juga merupakan isu etika yang signifikan dalam lingkungan kampus. Ketimpangan gender, bias budaya, dan kurangnya representasi kelompok minoritas dapat menyulitkan universitas untuk menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif.
Masalah Etika muncul ketika struktur dan kebijakan akademik gagal mendukung suara-suara yang beragam secara adil, yang kemudian memperkuat ketidakseimbangan dan hambatan bagi komunitas yang terpinggirkan.
Dan terakhir, tekanan neoliberalisme pendidikan di tingkat global. Saat ini, Universitas mendapat tekanan untuk meraih peringkat tinggi dan bersaing dalam hal sumber daya, bakat, dan reputasi.
Iklim persaingan ini dapat menyebabkan masalah etika, seperti memprioritaskan program yang menghasilkan pendapatan, peningkatan biaya kuliah, atau komersialisasi penelitian, yang seringkali mengorbankan aksesibilitas dan kesetaraan pendidikan.
Akhir kata, sebagai institusi yang mengklaim dirinya sebagai benteng moral, sudah saatnya kampus di Indonesia melakukan introspeksi mendalam dan menunjukkan sikap yang konsisten.
Mengimbau mahasiswa untuk menjaga etika kritik tanpa memperbaiki “borok” etis struktural hanya menunjukkan standar ganda yang mencoreng kepercayaan publik. Jangan sampai institusi pendidikan kita justru menjadi contoh buruk bagi generasi mendatang dan semakin memperkuat budaya pragmatisme dalam dunia akademis.