Selain itu, banyak pihak menduga pengerjaan disertasi tersebut turut dibantu oleh staf kementerian, sehingga muncul keraguan akan integritas akademis di baliknya.
Ketika gelar akademik dipermudah atau bahkan digunakan sebagai alat pencitraan, maka kredibilitas dan nilai akademis yang semestinyadijunjung tinggi seakan hilang.
Kampus yang seharusnya menjaga kualitas dan integritas keilmuan justru menjadi panggung relasi politis yang mengaburkan batas penghargaan akademik sejati dengan kepentingan pragmatis.
Di sisi lain, praktik mafia kenaikan jabatan guru besar di perguruan tinggi Indonesia semakin menggerogoti kepercayaan publik.
Sebuah investigasi Tempo (Juli, 2024) mengungkap bagaimana sejumlah dosen Universitas Lambung Mangkurat memanfaatkan jurnal predator untuk mencapai syarat guru besar.
Jurnal predator dikenal sebagai jurnal yang hanya mengutamakan biaya publikasi, tanpa seleksi ilmiah ketat.
Ketika publikasi yang seharusnya melalui proses verifikasi menjadi sekadar transaksi finansial, pencapaian akademik yang ditampilkan menjadi semu dan kehilangan integritas.
Ini adalah bukti nyata betapa kepentingan pribadi dapat menodai nilai akademis yang seharusnya menjadi prinsip utama.
Selain itu, isu kekerasan seksual di kampus juga kerap mencuat, namun disikapi setengah hati oleh institusi. Dalam berbagai pemberitaan, kasus kekerasan seksual di beberapa kampus besar sering kali diabaikan atau ditangani secara tertutup untuk melindungi nama baik institusi.
Terutama bilamana kasus tersebut melibatkan staf pengajar mereka untuk ditutupi agar “marwah” institusi tidak tercemar.
Sikap ini jelas menunjukkan bahwa demi menjaga citra, kampus lebih memilih meredam kasus daripada memberikan keadilan bagi korban.
Ketika Kampus tidak mampu menempatkan keamanan dan keadilan mahasiswa di atas reputasi, kultur akademis yang diucapkan menjadi omon-omon.
Pada aspek lain, skandal jual beli kuota mahasiswa kedokteran yang terjadi di Universitas Lampung (Unila) melibatkan rektor universitas tersebut dan menunjukkan betapa bobroknya integritas akademis di lingkungan pendidikan tinggi.
Skandal ini mendapat sorotan luas karena pendidikan kedokteran, yang terkait langsung dengan kesehatan masyarakat, seharusnya sangat selektif dan berbasis merit.
Namun, akses pendidikan yang diatur berdasar transaksi finansial mencerminkan betapa kapitalisasi pendidikan telah merusak prinsip keadilan.
Jika kursi di fakultas kedokteran dijual bagi yang mampu, bagaimana nasib calon dokter berkualitas yang berasal dari kalangan sederhana?