Keempat, untuk operasi-operasi yang dilaksanakan oleh TNI, sudah seharusnya terdapat pergerakan yang lebih independen dengan koordinasi dari Kogabwilhan III yang dipimpin panglima yang merupakan bagian dari Angkatan Darat.
Dengan pertimbangan panjang bahwa operasi TNI dapat ditopang dengan pasukan-pasukan taktis yang secara cepat dapat ditugaskan di daerah rawan, sudah saatnya keberadaan yonif-yonif itu dapat pula dilengkapi dengan Yonif Raider.
Sejauh ini, baru ada tiga Yonif Raider yang ada di Pulau Papua: 751 Wira Jaya Sakti di bawah komando Kodam Cendrawasih di Jayapura, Papua; 755 Yalet Kostrad di Merauke, dan 762 Vira Yudha Sakti yang berkedudukan di Sorong di bawah komando Kodam Kasuari.
Kelima, sejalan dengan fakta-fakta di atas, daya lenting dari pergerakan pasukan di Papua terus harus dilatih. Jika perlu, pasukan-pasukan taktis yang dapat digerakkan berdasarkan perintah dari Kogabwilhan III dapat mengambil yonif reguler menjadi Yonif Raider yang dapat menyikat tuntas kejadian-kejadian melibatkan gerakan separatis.
Selain itu, penambahan markas pasukan Kopassus secara organik perlu diusulkan, terlebih komposisi pemangku kepentingan pertahanan di Jakarta diisi petinggi-petinggi militer purnawirawan yang berasal dari satuan Cijantung, mulai Kementerian Pertahanan, Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, hingga Badan Intelijen Negara.
Meski demikian, akan menimbulkan suatu imbas yang luar biasa besar: sorotan asing akan isu pelanggaran HAM yang barangkali dapat dipertanyakan.
INDONESIA HARUS PEKA PERUBAHAN SITUASI
Papua pada dasarnya merupakan wilayah yang sarat konflik dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pendekatan yang dilakukan sudah seyogianya lebih asertif daripada sebelumnya. Dengan pengalaman
yang sebelumnya, pemangku kepentingan di Jakarta yang nantinya Nusantara perlu belajar dari pengalaman strategi OPM tidak hanya pada persoalan teknis dan taktis pada penempatan pasukan.
Namun, kombinasi antara pendekatan persuasif dan diplomatis dengan pendekatan koersif melalui penekanan pada peran ganda militer. Selain menggunakan instrumen soft power berupa diplomasi militer, juga hard power dengan show of power daripada senjata-senjata yang dimiliki Indonesia.
Terakhir, pemerintah Indonesia, khususnya stakeholder pertahanan, setidaknya dapat berkaca pada kasus penumpasan Al Qaeda di Nigeria. Dengan medan yang relatif berbeda antara hutan dan gurun pasir, operasi kontra-insurgensi dianggap berhasil karena ada pendekatan diplomatis yang optimal dilakukan oleh pasukan khusus.
Jajaran pasukan khusus melalui operasi klandestin mampu meyakinkan para kepala suku di sana untuk memihak pemerintah dan ikut serta membangun kesadaran bahwa Al Qaeda merupakan ancaman utama keamanan negara.
Itu berbeda dengan di Papua. Sampai saat ini pemerintah belum dapat secara terstruktur, sistematis, dan masif dapat memanfaatkan celah dari OPM yang sejatinya terbagi dalam faksi-faksi yang berbeda seperti Benny Wenda, Egianus Kogoya, dan tokoh-tokoh lain.
Seharusnya, dengan melakukan strategi kontra-insurgensi yang sama, pemerintah dapat memecah belah konsentrasi dan mulai menyamakan persepsi dari para kepala suku yang prorepublik. Karakteristik gerilyawan tentu dengan mudah membaur dengan masyarakat tanpa terdeteksi.
Dengan demikian, itulah yang perlu secara efisien memahami pola hit and run dan penguasaan total terhadap kontur wilayah operasi peperangan. Saatnya Republik Indonesia kembali menciptakan situasi damai di Papua. (*)
*)Reza Hasyim Zakarian Syah adalah sekretaris Center for National and Defence Studies (CNDSS).