PERUSAHAAN raksasa di bidang tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, resmi dinyatakan pailit pada Rabu, 23 Oktober 2024. Pailit adalah kondisi debitur tidak sanggup membayar atau melunasi utang-utangnya kepada kreditur dan telah melewati jatuh tempo.
Pernyataan pailitnya PT Sritex itu disampaikan Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang yang mengabulkan putusan Pengadilan Negeri Semarang. Pemohon kepailitan atas perusahaan tekstil yang telah lama menjadi ikon kemajuan industri padat karya di Sukoharjo itu adalah PT Indo Bharat Rayon.
Perkara tersebut mengadili termohon, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk dan beberapa korporasi tekstil di bawah naungannya. Dalam putusan itu, PT Sritex dinilai tidak sanggup membayar utang dan dinilai lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada para pemohon berdasar putusan homologasi pada 25 Januari 2022.
BACA JUGA:Prabowo Izinkan Sritex Tetap Beroperasi meski Sudah Pailit, Utang Bank Tembus Rp 12,27 Triliun
BACA JUGA:Sejumlah Menteri Dipanggil ke Istana, Bawa Berkas Bertuliskan Sritex
Pabrik tekstil yang berawal dari sebuah toko kecil di Pasar Klewer, Solo, tahun 1968 itu terus berkembang dengan memiliki fasilitas produksi sebanyak 37 pabrik yang tersebar di beberapa lokasi di Jawa Tengah.
Pabrik yang dimiliki PT Sritex juga berlokasi di Semarang dan Boyolali. Sementara itu, pabrik terbesar berada di Sukoharjo. Akan tetapi, setelah beroperasi 36 tahun, pabrik kebanggaan warga Jawa Tengah itu mengalami masalah keuangan sejak tahun lalu, ketika terlilit utang telah melampaui aset.
Berdasar laporan keuangan per September 2023, PT Sritex memiliki utang total sekitar Rp 24,3 triliun. Utangnya terdiri atas utang jangka panjang, utang jangka pendek, dan sebagian besar berasal dari utang bank dan obligasi.
Manajemen Sritex mengungkapkan penyebab turunnya penjualan di industri tekstil.
BACA JUGA:Kronologi Kebangkrutan Sritex, dari Gugatan Utang hingga Pailit
BACA JUGA:Karyawan Sritex Kompak All In Prabowo-Gibran
Pertama, kondisi geopolitik. Perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina mengakibatkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa dan AS.
Kedua, lesunya industri tekstil terjadi karena banjir produk tekstil dari Tiongkok yang harganya jauh lebih murah. Akibatnya, terjadi dumping harga. Produk-produk berharga lebih murah dan menyebar ke negara-negara yang cenderung longgar aturan impornya. Salah satunya Indonesia.
Ketiga, terbatasnya kapasitas likuiditas finansial Sritex saat mengakomodasi pesanan, baik pelanggan dalam negeri maupun luar negeri, terutama pasca pandemi Covid-19.
BACA JUGA:Kunjungi Sritex, Gibran Ingin Selesaikan Tumpang Tindih Aturan Untuk Permudah Industri