Karier dan Feminitas: Dua Sisi Koin Perempuan Modern

Selasa 05-11-2024,13:29 WIB
Oleh: Febrina Anastashia Sartio

Dalam era modern ini, banyak perempuan yang berusaha untuk mencapai keseimbangan antara keberhasilan karier dan ekspresi feminin mereka. Banyak sekali kasus, muncul dilema antara menjadi perempuan modern yang mandiri atau perempuan tradisional yang fokus pada peran sebagai ibu rumah tangga dan seorang istri di rumah.

Namun, menjadi perempuan modern tidak harus berarti meninggalkan sifat-sifat feminin yang sudah menjadi turun temurun di kawasan Asia. Sebaliknya, perempuan bisa mengejar mimpi dan karier sambil tetap menonjolkan sisi lembut dan empati mereka, alias sifat feminin.

Namun, ketika membahas tentang tipe pria yang banyak digemari dan diidam-idamkan, banyak perempuan cenderung mencari sosok yang maskulin-seorang gentleman yang pekerja keras, tegas, good looking, mapan secara finansial, dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Nah, tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan modern adalah stigma sosial yang sering kali membebani mereka.

Di tengah tuntutan untuk menjadi mandiri dan sukses, banyak dari mereka merasa harus mengorbankan sisi feminin mereka atau menghadapi kritik dari masyarakat.

Dalam kehidupan realitanya, banyak perempuan ingin dimanjakan, diperhatikan, dan mendapatkan dukungan, baik secara mental, emosional maupun finansial.

Akan tetapi, kebutuhan itu sering dipandang sebagai egois. Sebab, banyak perempuan diharapkan untuk memilih antara karier dan peran tradisional sebagai ibu rumah tangga.

Pandangan itu semakin mencolok di Indonesia, lantaran budaya timur menekankan peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan fokus pada keluarga, anak, dan suami.

BACA JUGA:Everything Everywhere All at Once, Film Soal Feminisme Dibalut Kerumitan Multiverse

Dalam konteks itu, perempuan yang memilih untuk mengejar pendidikan tinggi atau karier sering kali menghadapi skeptisisme dan kritik. 

Kritik yang sering muncul adalah, “Ngapain sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga dan menghabiskan waktu di dapur?”

Ironisnya, hal itu tidak terjadi pada pria. 

Lelaki yang mengejar karier atau pendidikan tinggi dianggap sebagai hal yang wajar dan didukung oleh masyarakat. Sebab, peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga ’’diharuskan’’ untuk menghabiskan aktivitas di lapangan.

Karena itu, perempuan yang berambisi mengejar mimpi mereka harus menghadapi tantangan tambahan dalam bentuk stigma sosial.

Namun, perempuan modern yang berkeinginan untuk tetap feminin tidak perlu merasa terjebak dalam peran tradisional. Kunci untuk mencapai keseimbangan itu terletak pada memilih pasangan yang dapat memahami serta menghargai kesetaraan gender. 

Pasangan yang mendukung impian dan karier perempuan adalah aset yang sangat berharga. Pria yang memiliki pola pikir modern, termasuk dalam hal kesetaraan gender, lebih cenderung menghargai ambisi dan potensi perempuan tanpa mengharapkan mereka untuk sepenuhnya berperan sebagai ibu rumah tangga.

Kategori :