Berdasarkan keterangan Aipda Wibowo, laporan diajukan setelah ibu korban melihat ada bekas luka memar di paha belakang anaknya. Namun, Supriyani membantah tuduhan ini, menegaskan bahwa ia tidak mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi langsung dengan anak tersebut.
Setelah berbulan-bulan proses hukum berjalan, kasus ini mencapai titik baru pada 16 Oktober 2024. Supriyani resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Konawe Selatan dan ditempatkan di Lapas Perempuan Kendari.
Penahanan ini memicu perbincangan luas di media sosial. Terutama setelah beberapa kalangan mempertanyakan urgensi penahanan dalam kasus yang melibatkan tuduhan penganiayaan terhadap seorang guru. Pihak kepolisian menyatakan bahwa proses hukum ini sudah dijalankan dengan prinsip keadilan, namun pihak Supriyani dan beberapa tokoh publik mengkritisi tindakan tersebut.
Pada sidang yang digelar pada 28 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Andoolo, tim kuasa hukum Supriyani mengajukan eksepsi dan menolak surat dakwaan yang dilayangkan jaksa. Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang diwakili oleh Kepala Kejaksaan Negeri Konawe Selatan Ujang Sutisna, menyatakan bahwa mereka menolak eksepsi dari kuasa hukum Supriyani karena dianggap tidak relevan dengan pokok perkara.
Kuasa hukum Supriyani, Andre Darmawan, menyebut bahwa prosedur hukum yang dijalankan mengandung pelanggaran etik, karena pelapor dan penyidik berasal dari kantor yang sama, yaitu Polsek Baito. Andre juga menambahkan bahwa ada dugaan permintaan uang damai sebesar Rp 50 juta dari pihak korban kepada Supriyani. Sebuah praktik yang dianggapnya melanggar prosedur hukum. (*)