Dalam konteks tahapan kampanye pilkada, bagaimana jika istilah ”debat” diganti dengan istilah yang lebih santun seperti ”curah gagasan”? Curah gagasan lebih mengedepankan penghargaan terhadap nilai-nilai keberagaman.
Melalui curah gagasan, tidak hanya pengetahuan yang dapat diperluas, tetapi juga pemahaman yang lebih mendalam mengenai kompleksitas suatu masalah serta berbagai perspektif dalam mencari solusi.
Metode curah gagasan partisipatif-kolaboratif mengutamakan kerja sama dan dialog. Para kandidat calon kepala daerah terlibat aktif dalam mencari solusi sehingga menciptakan rasa memiliki atas keputusan yang diambil.
Melalui curah gagasan partisipatif, para kandidat saling menyimak pandangan satu sama lain. Hal itu meningkatkan pemahaman terhadap perspektif dan kebutuhan masing-masing pihak, membantu menemukan solusi yang lebih baik, dan mendorong pencarian kompromi serta titik temu yang saling menguntungkan, daripada berfokus pada kemenangan argumen.
Pada akhirnya, model kampanye curah gagasan partisipatif dapat memperkuat hubungan antarpihak yang terlibat karena adanya interaksi yang positif dan saling menghargai. Itu penting untuk hubungan jangka panjang, terutama jika masalah yang dibahas dapat terjadi lagi di masa depan.
Penulis menawarkan curah gagasan partisipatif sebagai salah satu metode dalam kampanye pilkada yang dapat menggantikan debat publik, tentu dengan pengelolaan yang baik oleh panitia penyelenggara, dalam hal ini KPU.
Dengan pendekatan itu, diharapkan tercipta dialog yang lebih inklusif dan menghasilkan solusi yang relevan bagi masyarakat serta mendorong dialog yang lebih terbuka dan konstruktif antar pasangan calon. Meskipun, penulis menyadari bahwa beberapa pihak masih lebih akrab atau menyukai format debat untuk mengukur kemampuan dan visi calon.
Kualitas demokratisasi di tingkat lokal melalui pilkada dipengaruhi oleh masa kampanye, khususnya tahap debat publik. Jika KPU tidak mengelola debat dengan baik, hal tersebut dapat memengaruhi stabilitas keamanan.
Pertikaian dan perbedaan pendapat dalam debat dapat memicu ketegangan di antara pasangan calon maupun pendukungnya, yang berdampak pada keamanan wilayah.
Jika tidak segera ditangani, itu bisa berujung pada kericuhan yang meluas hingga ke luar arena debat. Akibatnya, tombul ketidaknyamanan dan gangguan keamanan masyarakat.
Perdebatan yang tidak terkendali juga berpotensi menimbulkan polarisasi dan perpecahan sosial. Pendukung calon masing-masing bisa makin terpecah, memperuncing perbedaan politik yang dapat mengganggu kerukunan sosial dan memicu konflik antarkelompok.
Konflik yang terjadi selama debat, baik antar pasangan calon maupun antar pendukung, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Masyarakat akan merasa bahwa para calon tidak mampu mengendalikan emosi atau menunjukkan perilaku yang layak sebagai pemimpin. Jika hal itu terjadi, kekhawatirannya adalah meningkatnya apatisme publik dalam bentuk golput.
Untuk mengatasi penurunan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pilkada, penulis menawarkan alternatif mengganti adu gagasan dalam bentuk debat dengan curah gagasan partisipatif.
Tentu saja, tema-tema curah gagasan dapat disusun dan dirumuskan panelis yang independen dan kompeten. Atau, dapat pula dilakukan pertama perubahan format debat. Caranya, KPU merancang format yang lebih terstruktur dengan moderator yang tegas sehingga fokus tetap pada isu-isu penting.
Moderator juga dapat mengingatkan atau menghentikan calon yang berlebihan atau menyimpang dari topik.