Surabaya, Kota Revolusi dan Jebakan Rutinitas

Rabu 13-11-2024,09:42 WIB
Oleh: Sarkawi B. Husain*

”BUKAN sekadar oleh karena pada 10 Nopember 1945 rakjat Indonesia membuktikan berani bertempur, maka 10 Nopember kita namakan Hari Pahlawan, tetapi oleh karena pada 10 Nopember 1945 budi-pekerti-pahlawan, ~ jaitu budi-pekerti membela, mengabdi, budi-pekerti aku untuk-umum, budi-pekerti sedia berkorban ~, …” (Soekarno, 1952).

Kutipan di atas adalah cuplikan sebagian pidato Presiden Soekarno saat memperingati Hari Pahlawan di Surabaya tahun 1952 sekaligus meresmikan berdirinya Tugu Pahlawan. 

Salah satu kata kunci penting yang banyak diulang Bung Karno dalam pidato tersebut adalah budi-pekerti pahlawan dengan karakter yang siap membela, mengabdi, berkorban untuk umum.  

BACA JUGA:Poesoera: Catatan tentang Organisasi Pergerakan Rakyat Surabaya

BACA JUGA:Kota Lama di Surabaya, Sekadar Fenomena Hit ataukah Landmark Kota?

Kata kunci yang disampaikan Bung Karno tersebut sangat relevan dengan kondisi berbangsa kita dewasa ini, kita menyaksikan dengan transparan begitu banyak ”pertikaian antarelite dan antarkelompok” yang bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing. 

Sungguh realitas yang sangat jauh dari cita-cita dan harapan Bung Karno yang menginginkan agar kita mengikuti budi-pekerti-pahlawan yang telah selesai dengan dirinya sendiri. 

KOTA REVOLUSI

Dalam catatan sejarah revolusi Indonesia atau yang sering disebut dengan Perang Kemerdekaan (1945–1949), Surabaya memiliki posisi penting sebagai lokus terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yang menewaskan banyak pejuang. 

BACA JUGA:Proyek PSN Surabaya Waterfront Land, Kepentingan Siapa?

BACA JUGA:Saat DPR Nilai Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik Brengsek

Seorang novelis dan sastrawan angkatan 1945 bernama Idrus (21 September 1921–18 Mei 1979), menggambarkan dengan baik peristiwa dan situasi perang di Surabaya dalam novelnya yang berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1948. 

Salah satu penggambaran Idrus adalah ”Sedjak beberapa hari sekutu mendaratkan serdadu-serdadu lebih banjak dan tank raksasa. Tank-tank itu turun dari kapal seperti malaikat maut turun dari langit: diam-diam dan dirahasiakan oleh orang jang menurunkannja. Asap Vesuvius bertambah tebal dan bergumpal-gumpal. Hudjan surat selebaran turun dari langit: orang-orang Indonesia harus menjerahkan sendjatanja kepada sekutu!...” 

Gambaran Idrus di atas merujuk pada upaya tentara Inggris yang menyebarkan selebaran melalui pesawat. Selebaran itu berisi ultimatum bahwa semua orang Indonesia yang bersenjata, termasuk pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesarnya, harus menyerahkan senjatanya di tempat-tempat tertentu dan sebelum waktu tertentu, yakni 10 November 1945, pukul 06.00. 

BACA JUGA:Antara Harta dan Vonis Hakim PN Surabaya Erintuah Damanik

Kategori :