Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara lantaran menyumbang 50,7% dari penerimaan pajak, sementara calon kelas menengah menyumbang 34,5%.
Sebagaimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pajak yang dimaksud merupakan pajak penghasilan, pajak properti, dan pajak kendaraan bermotor.
Pada 2022, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada di angka 10,38%, yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Rasio itu terus mengalami tren penurunan menjadi 10,21% di tahun 2023. Hasil survei juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Terjadi tren penurunan sejak itu. Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Kontribusi pajak mereka sangat mungkin berkurang jika daya beli kelompok itu kian tergerus, dan pada gilirannya berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan dan program keberlanjutan ekonomi.
Di sisi lain, terdapat parameter ekonomi yang cukup menggembirakan, yakni hasil survei kepercayaan konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2024 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian dalam tren positif, yakni mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Hal itu tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2024 sebesar 124,4, lebih tinggi daripada 123,4 pada bulan sebelumnya.
Meningkatnya keyakinan konsumen pada Agustus 2024 didukung Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang tetap optimistis dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menguat.
IEK yang tetap optimistis terutama didorong oleh Indeks Penghasilan Saat Ini. Sementara itu, IEK tercatat meningkat pada seluruh komponen pembentuknya, terutama pada Indeks Ekspektasi Penghasilan. IKE yang tetap optimistis dan IEK yang menguat.
IEK yang tetap optimistis terutama didorong oleh Indeks Penghasilan Saat Ini. Sementara itu, IEK tercatat meningkat pada seluruh komponen pembentuknya, terutama pada Indeks Ekspektasi Penghasilan.
Oleh karena itu, wacana konversi subsidi energi yang akan dirupakan dalam bentuk BLT dinilai banyak membantu memulihkan ”stamina ekonomi” masyarakat kalangan menengah ke bawah dan kelas menengah yang tertatih-tatih pasca hantaman pandemi Covid-19.
Menurut catatan, sepanjang 2022–2023, setidaknya terdapat empat jenis BLT seperti BLT minyak goreng, BLT BBM, BLT dana desa, hingga BLT El Nino disalurkan kepada jutaan keluarga miskin untuk menjaga daya beli mereka, termasuk untuk menurunkan kemiskinan ekstrem di desa.
Untuk diketahui, dalam lima tahun terakhir, anggaran subsidi energi yang mencakup subsidi BBM, LPG 3 kg, dan listrik dalam postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus meningkat. Pada APBN 2024, subsidi mencapai Rp 189,1 triliun dengan terbesar pada subsidi listrik Rp 75,8 triliun.
Aspek penting yang ingin dicapai dengan adanya konversi subsidi energi dalam bentuk BLT adalah pertama, mendongkrak kembali daya beli masyarakat yang terdampak pelemahan ekonomi.
Terutama, masyarakat golongan menengah ke bawah dan kelas menengah yang dalam ancaman kelompok rentan miskin.