Kedua, adanya asupan BLT bagi warga terdampak setidaknya bisa mengompensasi alokasi anggaran kebutuhan rumah tangga yang tergerus oleh dampak inflasi.
Akan tetapi, pemerintah juga perlu berhati-hati dan mempertimbangkan secara matang terhadap wacana pelaksanaan konversi subsidi BBM.
Bila tidak cermat, konversi energi yang dirupakan dalam bentuk BLT itu akan menjadi bumerang.
Pertama, adanya alokasi APBN untuk konversi energi tentu akan mengurangi anggaran subsidi BBM yang berarti akan ada potensi kenaikan harga BBM itu sendiri. Itu dikhawatirkan memicu inflasi yang disebabkan naiknya harga barang.
Kedua, sasaran BLT kepada masyarakat yang membutuhkan sangat memerlukan kesinambungan pembaruan data yang cermat. Dengan demikian, potensi munculnya BLT yang salah sasaran dapat diminimalkan.
Ketiga, secara langsung ataupun tidak langsung, alokasi anggaran biaya pengawasan distribusi BLT kepada warga terdaftar penerima juga ikut terkerek.
Terlepas dari aspek pro-kontra, wacana konversi subsidi energi dalam bentuk BLT sebenarnya bukan merupakan hal baru yang hendak diimplementasikan pemerintah demi mencapai penguatan dan pemberdayaan masyarakat yang terdampak pelemahan ekonomi. (*)
*)Sukarijanto adalah pemerhati Kebijakan Publik dan Peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.