"Awalnya cukup geregetan saat lihat Gen Z seperti itu. Tetapi kini, saya lebih tahu bagaimana cara menghadapi Gen Z," lanjutnyi.
Dengan berbagai stigma yang melekat itu, ada pertanyaan yang dilayangkan oleh Farah ke peserta: Apa yang salah dengan Gen Z?.
BACA JUGA:5 Model Lemari Baju Kekinian untuk Anak Gen Z yang Rapi dan Estetik
BACA JUGA:5 Rekomendasi Model Dapur untuk Anak Gen Z: Modern, Praktis, dan Estetik
Ramailah komentar tentang jawaban-jawaban kesalahan Gen Z. Seperti Gen Z lemah, suka menganggur, pembangkang dan banyak lagi.
Farah menjawabnya dengan menunjukkan layar yang berisi ajakan untuk berhenti menghakimi Gen Z.
Tingkah laku unik mereka seharusnya bisa diarahkan sebagai kekuatan pendorong lain.
"Misalnya saja tentang blak-blakan. Hal tersebut tidak selamanya buruk. Malah sangat baik. Karena mereka bisa mengungkapkan kendala yang dirasakan," ucap Farah.
Lalu sikap idealis serta selalu ingin instan itu boleh-boleh saja. Tetapi dia meminta mereka untuk menganalisis keadaan perusahaan terlebih dulu.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia masih banyak yang konvensional. Sehingga sistem kerja yang terbentuk masih menggunakan kaidah-kaidah tradisional.
Kalau memang Gen Z ingin merombak sistem tersebut, maka Farah menyarankan mereka untuk mengikisnya secara perlahan.
BACA JUGA:Apa Itu Jam Koma? Istilah Baru Gen Z yang Viral di Media Sosial
BACA JUGA:Pertarungan Ide di Jakarta: Solusi Cerdas RIDO dan Si Doel untuk Gen Z yang Terimbas PHK!
Farah menekankan pentingnya komunikasi sebagai kunci untuk membangun relasi. Sehingga ke depan saat mereka kesulitan, Gen Z akan memiliki banyak teman yang bisa membantunya.
Terakhir, Farah meminta Gen Z supaya menyelami pekerjaan mereka dengan serius.
Dia menganggap kutu loncat itu boleh. Hanya saja perlu diperhatikan rentang waktunya. "Kalau bekerja di sebuah perusahaan masih 3 atau 6 bulan, saya pikir jangan meloncat dulu. Jika pun ingin loncat, pelajari dulu kemungkinannya," pungkasnyi. (*)