JAKARTA, HARIAN DISWAY - Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menjelaskan alasan mengapa RUU Perampasan Aset tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
Doli menjelaskan bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan secara terburu-buru dan perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk memastikan kesesuaiannya dengan sistem hukum di Indonesia.
Ia juga mengatakan bahwa RUU perampasan aset kurang cocok jika diterapkan di Indonesia karena Indonesia menggunakan aturan tertulis terkodifikasi sebagai sistem hukum primer (Eropa Kontinental).
BACA JUGA:Jokowi Minta RUU Perampasan Aset Dipercepat DPR, KSP: Publik Mendukung!
"Ya, itu tadi, kita harus mengkaji. Undang-undang itu (Perampasan Aset) lebih tepat dipergunakan oleh negara yang bermazhab hukum Anglo-Saxon. Nah, sementara kan kita pakai Eropa Kontinental. Ini yang nanti harus kita sesuaikan," kata Doli di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip, Selasa, 19 November 2024.
Doli menilai bahwa hal yang paling krusial dalam pembahasan RUU Perampasan Aset adalah menyusun aturan yang sesuai dengan sistem hukum Indonesia.
Ia menyebutkan bahwa, misalnya, materi-materi dalam draft yang sudah ada perlu diperiksa untuk memastikan tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, karena itulah yang paling penting.
Di sisi lain, Doli menjelaskan bahwa RUU Perampasan Aset perlu kajian ulang meskipun sudah masuk dalam Prolegnas Menengah 2025-2029.
Ia mengkritik penggunaan istilah 'Perampasan' dalam RUU tersebut, yang dinilai memiliki makna yang salah dan tidak sejalan dengan Konvensi Anti Korupsi Internasional (UNCAC).
BACA JUGA:PR Besar Pemerintahan Prabowo Gibran: RUU Perampasan Aset dan Penuntasan Skandal BLBI
BACA JUGA:RUU Perampasan Aset Segera Diserahkan ke DPR
"Makanya waktu itu saya bilang, kalaupun misalnya disetujui substansi undang-undang itu adalah bagian dari pemberantasan korupsi, kenapa enggak namanya kita buat pemulihan atau pengelolaan aset," kata Doli.
Anda sudah tau, RUU Perampasan Aset terhenti selama lebih dari satu dekade setelah naskah pertama kali disusun pada 2008.
Pada 2023, RUU ini kembali dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2023. Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, juga telah mengirimkan surat presiden (surpres) mengenai RUU tersebut.