Tajdid Kedua Menghadapi Senja Kala Modernisme Muhammadiyah

Kamis 21-11-2024,22:19 WIB
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk*

BACA JUGA:NU-Muhammadiyah Bersatu…

BACA JUGA:Pola Relasi Baru NU-Muhammadiyah

Dulu Muhammadiyah adalah pelopor perpaduan pendidikan agama dan pengajaran ilmu umum. Kini begitu banyak lembaga pendidikan, termasuk sekolah-sekolah negeri, yang memadukan antara keduanya, bahkan dengan inovasi yang lebih menarik daripada gagasan Muhammadiyah.

Sangat mungkin, sekolah-sekolah Muhammadiyah sedikit demi sedikit pelan tapi pasti (akan) mulai digeser dan muridnya juga berkurang.

Mengapa? Sebab, kalangan internal Muhammadiyah, terutama pengelola di akar rumput, tidak melakukan inovasi. Hingga di sini, muncul gejala kejumudan modernisme Islam gaya Muhammadiyah. Banyak sekolah Muhammadiyah, yang dulu diminati, kini mulai menurun drastis. 

Masyarakat lebih memilih sekolah negeri atau sekolah berlabel ”terpadu” atau ”integral” karena dianggap memiliki program dan model pembelajaran yang lebih baik. Apalagi, muatan dan pembelajaran agamanya tidak jauh beda dengan sekolah Muhammadiyah.

Begitu juga dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit, klinik, dan BKIA Muhammadiyah akan sangat dibutuhkan dan berkembang pesat manakala pelayanan kesehatan pemerintah (daerah) kurang maksimal. 

Sebaliknya, ketika pelayanan kesehatan pemerintah mulai membaik, rumah sakit dan klinik persyarikatan (sering kali terjadi) mulai menurun adanya. Sekali lagi, tidaklah mungkin terus berharap pada keburukan pelayanan puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Perlu adanya ”ijtihad” kedua dari Muhammadiyah.

Dalam hal perguruan tinggi pun (bisa jadi) akan terjadi. Pada nantinya, jika Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) yang berdiri di beberapa kota besar di Indonesia mulai mengalami perkembangan, itu menjadi kompetitor berat bagi perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM). 

Terlebih, jika saudara mudanya ini mendapatkan dukungan politik kekuasaan yang kuat dari negara. Belum lagi, perguruan tinggi negeri (PTN) yang bisa memengaruhi eksistensi PTM. 

Lebih mencengangkan lagi, NU mulai memiliki ribuan doktor muda di pelosok-pelosok desa, sebagai ”berkah” program 5.000 doktor yang diluncurkan Kemenag. Sangat mungkin, modernisme Islam gaya Muhammadiyah akan ”disalip dari kiri” oleh ormas Islam yang dulu dianggap tradisionalis yang kini mulai mengubah watak gerakannya menjadi neomodernis.

Begitu juga dari sisi pengembangan ekonomi. Kalangan nahdliyin mulai sadar bisnis, merambah ekonomi ritel. Memang tidak atas nama NU. Tapi, mereka tumbuh subur di akar rumput pesantren dan yayasan-yayasan yang jelas-jelas berafiliasi kepada NU. 

Ormas Islam yang didirikan di Surabaya itu cenderung independen dan kewiraswastaannya lebih mudah bergerak mengikuti spirit dunia bisnis yang mulai terbuka. Sementara itu, Muhammadiyah yang dulu digerakkan oleh ulama yang saudagar kini lebih banyak digerakkan para ASN dengan ikatan waktu dinas yang cukup ketat. 

TAJDID KEDUA

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, Muhammadiyah perlu memperbarui tajdid atau tajdid kedua. Tajdid tidak hanya dilakukan pada sisi pemikiran teologis, tetapi juga pada sisi kontekstualisasi pada aras realitas-historisitas di lapangan. Sisi historisitas itulah yang meliputi berbagai bidang kehidupan, terutama pada amal usahanya.

Kedua, menjembatani kesenjangan berpikir antara kalangan elite pimpinan sebagai pemikir dan pengambil kebijakan dan pimpinan di bawah sebagai pelaksana di tingkat daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan) dan ranting (desa). 

Kategori :