MUHAMMADIYAH adalah gerakan Islam modernis dan reformis (pembaruan). Pada awal didirikan, 18 November 1912, gagasannya diakui oleh banyak peneliti telah melampaui zaman. Hingga kini, Muhammadiyah telah menorehkan prestasi yang luar biasa (terutama) di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya.
Bukti kebesarannya bisa dicermati dari amal usaha yang dimiliknya. Sebagaimana dilansir akun Instagram LensaMu, Muhammadiyah memiliki 30.125 TK, PAUD, dan KB; 2.817 SD/MI; 1.826 SMP/MTs; 1.407 SAM/MA/SMK; 562 panti asuhan; 440 pondok pesantren; 583 rumah sakit/klinik; dan 171 perguruan tinggi. Belum lagi, masjid, musala, BMT, minimarket, swalayan, dan sebagainya yang tersebar di seluruh negeri.
Ada yang membandingkan, kepemilikan tanahnya pun dua kali luasnya Pulau Bali. Maka, tidak mengherankan jika ormas Islam itu dengan lantang mengusung jargon ”Islam Berkemajuan”.
BACA JUGA:Khofifah di Milad Muhammadiyah ke-112, Soroti Sumbangsih untuk Bangsa
BACA JUGA:Milad Muhammadiyah 18 November: Sejarah, Tujuan, Tema dan Acara Peringatan ke-112
James L. Peacock sampai berani mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar di dunia dari sisi amal usaha yang dimiliki.
Namun, tidak banyak yang mencermati bahwa di tubuh Muhammadiyah muncul gejala (proses) menuju kejumudan dan ketertinggalan, kalau bukan kematian. Dulu Muhammadiyah adalah pionir.
Tapi, di banyak daerah gerakan dakwah itu mengalami kemerosotan. Lalu, mengapa terjadi demikian? Apa gejalanya? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menghambat kejumudan?
BACA JUGA:Khofifah Apresiasi Kontribusi Muhammadiyah dalam Pendidikan
BACA JUGA:Muhammadiyah, Negara Pancasila, dan Darul Ahdi wa Syahadah
PELOPOR KEMAJUAN
Sejak berdiri, Muhammadiyah adalah pelopor kemajuan (modernisme Islam) di awal abad ke-20. Ketika pendidikan Islam ”dipisahkan” dari ilmu pengetahuan umum, Muhammadiyah mulai mengintegrasikan keduanya.
Saat umat Islam begitu fanatik terhadap pakaian dan mengharamkan hal-hal berbau Barat, KH Ahmad Dahlan bersama santri-santrinya justru memakai celana dan dasi.
Saat kalangan pesantren masih memakai metode pengajaran sorogan, Islam modernis sudah memakai sistem kelas. Ketika perempuan tidak diberi kesempatan yang layak untuk mendapatkan akses pendidikan, Muhammadiyah membolehkan perempuan bergabung menuntut ilmu bersama laki-laki.
BACA JUGA:Muhammadiyah Tinggalkan BSI, Langkah Strategis atau Kecewa Layanan?