BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (4): Saatnya Berbagi
Kini demokrasi mengajarkan adanya panggung perebutan yang cerdas, bukan kekerasan. Pustaka dan dongeng verbal Arok-Dedes memberikan pijaran bahwa wanita adalah jalan kekuasaan sekaligus perebutan dengan menafikan hukum-hukum negara.
Pada lingkup “sinar terang Ken Dedes”, ayat-ayat konstitusi yang mengajarkan raihan jabatan dapat dijamah oleh “ayat-ayat tentang nariswari”. Tragedi adalah gema ikutan yang menggulung “jamaah kepemimpinan” yang terus diperebutkan.
Kuasa era para raja dahulu kala merekam semuanya wibawa itu diukur dari kadar perempuan hebat yang mendampinginya. Prahara Arok-Dedes inilah yang sedang ramai dibincang saat itu dalam setiap episode perebutan kuasa di Singasari.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (3): Kupu-Kupu Ramadan
Apakah “cahaya kepemimpinan” yang diunggah dan viral saat itu adalah sebuah realitas atau imaji yang dikreasi sejak zaman Arok-Dedes, secara historis masih sangat sumir tetapi dapat dimengerti.
Walaupun demikian, keputusan kepemimpinan yang diambil “pemeran utama” untuk mempertimbangkan yang “dirilis publiknya” bersentuhan dengan “opera brilaj femuroj” yang dipanggungkan gerilyawan politik ada probabilitas.
Inilah ganasnya soal pilihan kepemimpinan yang menggelindingkan persepsi. Dalam hening di kala ramai, sepenggal puisi Hermann Hesse (1877-1962 yang ditulis pada 1962, sastrawan besar yang lahir di Jerman dan meninggal di Swiss, dalam editan Berthold Damshauser-Agus R. Sarjono (2015), dapat menjadi pengingat:
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (2): Titian Kerinduan
Zauber aus sterbendem Licht
Gluck wie Musik zeronnen
Schmerz inm Madonnengesicht
Daseins bittere Wonnen
Pesona cahaya nan sirna
Bahagia susut bagai nyanyian
Duka nyeri di wajah Madonna