Terbukti, selama sembilan bulan dilaksanakan, TA dan PPS pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp 4.884,2 triliun yang Rp 1.036,7 triliun di antaranya berasal dari luar negeri.
Selain itu, otoritas pajak mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp 146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak sebesar Rp 114,5 triliun.
Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Di balik penerimaan dana ribuan triliun tersebut, ada beberapa hal yang patut menjadi catatan.
Dari sisi tingkat partisipasi, misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dari 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4 persen dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017, yakni pada angka 39,1 juta.
Sementara itu, untuk uang tebusan, dari target realisasi Rp 114,5 triliun, jumlah yang masuk ke negara masih di luar ekspektasi yang sebelumnya berada pada angka Rp 165 triliun. Realisasi repatriasi setali tiga uang, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp 1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan Rp 146,7 triliun.
Tidak heran, sebenarnya jika hampir enam tahun pascaimplementasi TA dan PPS, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Apalagi, data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83 persen. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD, yakni 85 persen.
KESETARAAN
Adanya keengganan WP atas pelaksanaan TA berangkat dari realitas masih belum tegasnya pemerintah dalam memberikan efek jera kepada aparatnya sendiri yang terlibat dalam berbagai kasus penyelewengan pajak.
Perilaku kongkalikong antara petugas pajak dan WP untuk menyiasati peraturan perpajakan sering kali terjadi dan menimbulkan kecemburuan dan mencederai rasa keadilan WP yang patuh.
Dengan begitu, perlu pertimbangan dengan cermat dan kehati-hatian jika kebijakan TA akan diterapkan kembali.
Pertama, sebagai solusi jangka pendek yang sering digunakan, TA bisa menyebabkan ketergantungan. WP mungkin akan menunda pembayaran pajak atau melanggar aturan dengan harapan bahwa akan ada program amnesti di masa mendatang.
Kedua, pengulangan kebijakan TA berpotensi mengurangi kepercayaan publik di kala mental aparat pajak sendiri belum dibenahi sehingga muncul kesan bahwa TA adalah ”pemerasan halus” kepada warga sendiri.
Ketiga, penerapan TA merupakan indikasi tidak bekerjanya sistem perpajakan dengan baik. Sebuah sistem perpajakan akan berjalan baik jika mengedepankan asas kesetaraan dan keadilan.
Sebagaimana kata-kata bijak filsuf Yunani Kuno, Plato: ”Jika ada pajak penghasilan, orang yang adil akan membayar lebih dan orang yang tidak adil akan membayar kurang pada jumlah penghasilan yang sama”. (*)