Bantengan, Kesenian Khas Malang yang Sakral sejak Zaman Kerajaan Singosari

Rabu 11-12-2024,08:28 WIB
Reporter : Annisa Dyah Novia Arianto *)
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY - Bantengan merupakan kesenian tradisional khas Malang yang diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Singosari. Salah satu yang masih melestarikan kesenian ini adalah Paguyuban Seni Rukun Utomo Malang.

Paguyuban ini kerap menyelenggarakan aksi bantengan sebagai hiburan. Saat tampil, sudah pasti nuansa magis menyelimuti. Apalagi ketika bantengan mengamuk. Ketika roh leluhur mulai merasuk. Selengkapnya demikian suasananya.

Para penonton akan diajak menikmati keseruan sejak satu per satu bantengan muncul dari kerumunan. Kalimat "Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad!” berkumandang. Tembang Jawa yang dinyanyikan para sinden berubah menjadi salawat.

BACA JUGA: Mengenal Xun, Seruling Tradisional dari Tanah Liat yang Jadi Inspirasi Musik Modern Tiongkok

Ketika empat bantengan mengamuk di lingkaran penonton. Setiap bantengan dimainkan oleh dua orang dengan kostum khas. Berupa kain hitam dan topeng berbentuk kepala banteng. Bantengan-bantengan itu siap menyeruduk siapa saja.

Termasuk penonton. Untuk itu, setiap bantengan memiliki seorang pawang dengan tali tambangnya. Tugasnya supaya bantengan tidak membahayakan orang lain. Semakin kencang gamelan bertabuh, semakin mengamuk pula bantengan itu.

Mereka bisa melompat, mendorong, berduel antarbantengan, bahkan tiba-tiba rebah ke tanah. Tak berkutik sama sekali. Selain bantengan, ada pula macan yang mengamuk beserta monyet jahil. Suka mencolek-colek dan menendang para bantengan.

BACA JUGA: Tradisi Lima Tahunan Upacara Unan-Unan, Upaya Melibatkan Pemuda dalam Melestarikan Budaya Tengger

Tanggapan bantengan semakin seru ketika para pemain telah melepas perangkat kostumnya. Ya. Kepala banteng dan kain hitam-merahnya telah terjatuh. Menyisakan para pemain yang bertelanjang dada. Kedua mata mereka melotot.
Kedua mata pemain bantengan yang melotot. Tajam menatap siapa pun di sekitarnya. Mereka tidak berdiri seperti manusia pada umumnya. Tetapi berjalan dengan kaki empat. Inilah inti dari bantengan. Yakni, kesurupan! -Annisa Dyah-Harian Disway

Tajam menatap siapa pun di sekitarnya. Mereka tidak berdiri seperti manusia pada umumnya. Tetapi berjalan dengan kaki empat. Inilah inti dari bantengan. Yakni, kesurupan! Para penonton pun berseru-seru.

Sementara itu, para pawang dan sesepuh mencoba berkomunikasi dengan pemain-pemain yang kesurupan. “Asalnya dari mana? Ayo pulang!” bisik Fajar, ketua Paguyuban Seni Rukun Utomo kepada Yadi Firmansyah, seorang pemain macan.

BACA JUGA: 5 Jenis Wayang Indonesia, Tradisi dengan Nilai Filosofis Tinggi

Yadi hanya mengerang. Dia menyingkir. Kepalanya bergerak patah-patah. Tapi, matanya tetap awas. Bagaikan seekor macan, Yadi menjilat-jilat tangannya untuk membersihkan kepala. Kedua tangannya pun selalu siap menerkam.

Dia melompat-lompat di atas panggung. Seolah ada magnet, dia bersama para pemain lain mendekati sesajen yang berada di samping panggung. Mereka memakan sesajen itu. Ada pula yang muntah di atas panggung.

Sebelumnya, sesajen yang menghadap ke alam terbuka itu telah didoa-doakan oleh Fajar. Ia mengoleskan minyak wangi ke setiap properti tanggapan. Menurutnya, supaya Gusti Yang Agung selalu melindungi para anggota dari hal-hal buruk.
Bantengan erat dengan pecak silat. Maka, untuk spesial hari raya misalnya, aksi bantengan di Dusun Nampurejo, Desa Banjarejo, Donomulyo, Malang, dalam gebyar seni pada Minggu, 14 April 2024 itu terdapat atraksi-atraksi pencak silat. -Annisa Dyah-Harian Disway

Kategori :