BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (11): Puasa Itu Asyik Aja
Apalagi kebijakan menambah pasukan TNI dalam membantu rakyat, termasuk mendistribusikan sembako misalnya, didasari oleh pengkajian fundamental bahwa menolong korban bencana itu memilki arti penting bagi lingkungan dan kemanusiaan.
Asap pekat karhutla contohnya di musim kemarau setiap tahunnya, jelas berpotensi mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat. Begitula keterangan yang diberikan Mabes TNI dan saya mengamininya.
Tentu TNI semakin terpanggil dengan data dari Forest Watch Indonesia yang menyebutkan bahwa hutan alam Sumatera tersisa 11,4 juta hektar akibat alih fungsi hutan untuk tanaman industri, perkebunan, dan pertambangan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (10): Ramadan dan Daun Sang Mahacinta
Diprediksi dalam 10 tahun ke depan, hutan Sumatera hanya tinggal 16 persen dari total luas pulau ini. Bukankah selama ini memang aneh, rezim silih berganti, mengapa deforestasi tidak berhenti? Sampai kapan “siklus tahunan” enyah dari negeri ini?
Terhadap kasus lahan kritis atau kerusakan ekosistem, secara yuridis dapat diterapkan tiga jerat hukum. Pertama, aspek administratif yang dilakukan dengan pengawasan dan penerapan sanksi.
Apabila suatu wilayah mengalami kerusakan, hal itu menandakan betapa lemahnya kinerja pengawasan instansi birokrasi lingkungan. Organisasi pemerintahan menjadi pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas kehancuran ekosistem lingkungan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (9): Menghindari Talbis Iblis
Pejabat pengawas yang tidak melakukan tugasnya secara profesional dapat dipidana. Kedua adalah aspek kepidanaan terhadap pelaku kejahatan lingkungan. Korporasi menjadi prioritas penanganan sejurus dikeluarkannya PERMA No. 13 Tahun 2016.
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pertanggungjawaban pidana lingkungan memang dapat dibebankan kepada perseorangan (natuurlijke persoon) atau badan hukum (rechtspersoon).
Pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus atau pimpinan ini juga diatur di USA. Pasal 51 UU Pidana Belanda (Stb. 1998 No. 35) pun memuat sanksi dan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (8): Sepekan Keindahan
Jerat hukum ketiga berupa gugatan atas kerugian yang dialami korban kerusakan lingkungan dengan landasan konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia (Tap. MPR RI No. XVII/MPR/1998).
Gugatan lingkungan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat (class action), LSM, bahkan pemerintah atas kerugian yang disebabkan kerusakan lingkungan.
Langkah ini dikonstruksi semakin kuat dengan dwifungsi, eh “multifungsi TNI” yang berjiwa ekologis, justru dibutuhkan bukan? Lumayan Ramadan ini berkesempatan mengaji ini. (*)